Eks Atase Imigrasi KBRI Kuala Lumpur Keberatan Dituntut 5 Tahun Bui

Eks Atase Imigrasi KBRI Kuala Lumpur Keberatan Dituntut 5 Tahun Bui

Faiq Hidayat - detikNews
Rabu, 11 Okt 2017 11:44 WIB
Foto: Faiq Hidayat/detikcom
Jakarta - Mantan Atase Imigrasi KBRI Kuala Lumpur, Malaysia, Dwi Widodo mengaku keberatan atas tuntutan yang diberikan jaksa penuntut umum. Apalagi ia disebut telah menerima uang Rp 535 juta dari pembuatan brafaks dan calling visa dengan metode reach out.

"Saya keberatan tuntutan yang menyatakan uang yang saya terima Rp 535 juta," kata Dwi saat membacakan nota pembelaan di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Jakarta, Rabu (11/10/2017).

Dwi mengatakan uang yang diterimanya sebesar Rp 535 juta dalam kurun 2013-2016 digunakan untuk pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Uang itu juga digunakan untuk biaya operasional KBRI Kuala Lumpur.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kemudian benar saya telah menerima sejumlah uang sebesar Rp 535,157 juta dalam kurun waktu selama tahun 2013-2016, sebagaimana yang didakwakan dan di surat tuntutan. Di mana uang tersebut yang menurut jaksa penuntut umum seolah-olah dimiliki dan dikuasai saya pribadi yang sebenarnya uang itu digunakan selain untuk pembayaran PNBP, penerbitan calling visa dan untuk kegiatan operasional bidang imigrasi pada KBRI Kuala Lumpur," kata Dwi.

Pada 2015, menurut Dwi, dia telah menerima uang dari sponsor sebanyak 7 kali dengan rincian 5.000 ringgit Malaysia, 1.000 RM, 2.500 RM, 3.000 RM, 4.000 RM, 7.000 RM, dan 9.000 RM. Namun uang yang diterima diserahkan kepada Bendahara Elly Yanuari Dewi untuk kegiatan operasional KBRI Kuala Lumpur.

"Tahun 2016 diserahkan total 35.000 ringgit Malaysia, jadi keseluruhan yang saya serahkan uang tersebut dari hasil yang diberikan pihak sponsor sebagai pembayaran PNBP. Dan sisanya sebagai ucapan terima kasih yang saya serahkan kepada bendahara saya total 80.0000 ringgit Malaysia atau setara Rp 270 juta. Hal ini untuk kegiatan operasional di bidang imigrasi KBRI Kuala Lumpur," kata Dwi.

Dwi sebelumnya dituntut hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan. Jaksa menyebut Dwi terbukti bersalah menerima fee Rp 524,35 juta dan 63.500 RM serta voucer hotel senilai Rp 10,8 juta dari pembuatan brafaks dan calling visa dengan metode reach out.

"Meminta majelis hakim menyatakan terdakwa Dwi Widodo terbukti secara sah dan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," ujar jaksa KPK di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (4/10).

Jaksa juga meminta majelis hakim menetapkan Dwi membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp 535.147.102 dan RM 27 ribu.

Atas perbuatannya, Dwi didakwa melanggar Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (fai/jor)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.

Hide Ads