"Fatwa MUI bukan patokan satu satunya keislaman. Kita harus hormati yang lain seperti fatwa MUI. Selalu ada kitab kitab yang dihormati masing masing penganut. Saudi bukan kiblat satu-satunya Islam. Di sana mazhabnya Wahabi. Itu kebijakan masing-masing negara," ujar Qasim di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat Selasa (10/10/2017).
Selain itu, dalam persidangan tersebut Qasim berpendapat bahwa jangan sampai negara dibikin capek karena mengurusi perbedaan pandangan keislaman. Perbedaan tersebut adalah hal yang wajar dan tidak menyebabkan seseorang atau kelompok harus dinyatakan bukan Islam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Qasim berharap agar MK dapat memastikan semua peraturan yang terbit di bawah MK tidak membuat warga negaranya kehilangan hak untuk beribadah sesuai keyakinannya. Ini diyakini Qasim sejalan dengan UUD 1945.
Sidang itu digelar atas permohonan Komunitas Ahmadiyah yang menggugat UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, atau yang dikenal dengan UU Penodaan Agama. Pemohon meminta MK menafsirkan pasal di UU Penodaan Agama dimaknai:
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatam mana menyimpang dari pokok-pokok ajatam agama itu
"Dinyatakan secara konstitusional bersyarat bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai persangkaan terhadap warga negara Indonesia di komunitas Ahmadiyah yang hanya beribadah di tempat ibadahnya secara internal dan tidak di muka umum," pinta pemohon. (asp/asp)











































