"Kalau dulu itu tantangannya penjajahan, perang, resolusi jihad, begitu kan? Itu dulu. Sekarang, menurut saya ada dua. Pertama adalah radikalisme dan intoleran. Yang kedua adalah kesenjangan sosial," kata Ma'ruf saat jadi pembicara dalam kegiatan Pendidikan Pengembangan Wawasan Keulamaan (PWKK) di kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Senin (9/10/2017).
Menurut Rais Aam PBNU itu, radikalisme merupakan cara berpikir. Orang-orang yang terbelenggu dalam radikalisme memiliki cara berpikir yang tekstual, hingga berujung pada intoleran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selanjutnya kesenjangan sosial. Menurutnya, kesenjangan sosial terjadi sebagai imbas dari kebijakan ekonomi pada masa lalu. Kebijakan ekonomi pada pemerintah yang lampau justru melahirkan konglomerasi.
Dia melanjutkan kebijakan ekonomi pemerintahan yang lalu justru memberikan keleluasaan para konglomerat untuk menambah kekayaan. Imbasnya, bisa terjadi konflik sosial.
"Kesenjangan sosial ini akibat dari kebijakan masa lalu yang tidak tepat, melahirkan konglomerasi. Yang di atas makin kuat, yang di bawah semakin lemah, antara yang kaya dan yang miskin. Kalau tidak diselesaikan akan terjadi konflik sosial. Sumbernya adalah ekonomi yang tidak berkeadilan," ujarnya.
Khusus untuk kesenjangan sosial ini, Ma'ruf menawarkan solusi. Dia menamakannya dengan 'Arus Baru Ekonomi Indonesia'.
"Makanya saya mengusung 'Arus Baru Ekonomi Indonesia'. Intinya pemberdayaan ekonomi umat. Kenapa umat? Karena bagian terbesar dari negara adalah umat. Ekonominya harus kita mulai dari bawah," pungkasnya.
(idh/idh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini