Tak Menentang Poligami tapi Setia pada Satu Istri

Meneladani KH Agus Salim

Tak Menentang Poligami tapi Setia pada Satu Istri

Aryo Bhawono - detikNews
Senin, 09 Okt 2017 13:25 WIB
KH Agus Salim. Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah
Jakarta - Kiai Haji Agus Salim pernah memberikan pendapatnya soal poligami. Lelaki Koto Gadang, Sumatera Barat, 8 Oktober 1884 dan 4 November 1954, yang dijuluki 'Grand Oldman' dalam kancah politik nasional itu mereguk bahagia mengarungi rumah tangga bersama seorang istri.

Pesan ini terselip ketika seorang wartawati bertanya tentang rencana Presiden Sukarno menikahi Hartini, 7 Juli 1953, seorang janda beranak lima. Salim hanya sanggup meladeni pertanyaan sambil berbaring di ranjangnya pada 7 Oktober 1954. Ia tengah sakit-sakitan, dan wawancara dibatasi selama 30 menit saja.

"Saya telah mempunyai anak-anak dan cucu-cucu, harapan saya semoga untuk selanjutnya kami terus diberkahi selamat oleh Tuhan Yang Maha Esa. Memang hidup kekeluargaan yang berbahagia itu tak ada bandingannya," ucap Salim.

 Tak Menentang Poligami tapi Setia pada Satu Istri Foto: Repro: Seratus Tahun Agus Salim

Wawancara ini terekam dalam artikel Kustiniyati Mochtar di buku Seratus Tahun Haji Agus Salim. Salim mengaku telah mengecap kehidupan kekeluargaan yang sangat bahagia. Jawabannya tenang, ia tak ingin menambah polemik pemberitaan rencana perkawinan Presiden Sukarno. Sekitar sebulan setelahnya ia meninggal dunia.

Salim memiliki satu istri, Zainatun Nahar Almatsier. Mereka menikah pada 12 Agustus 1912 dan dikaruniai 10 orang anak, dua diantaranya meninggal ketika masih kecil.

Sebelum berumahtangga dengan Zainatun, ia menikahi seorang gadis di Jeddah, Arab Saudi. Gadis itu yang merawatnya ketika bekerja sebagai dragoman (ahli penerjemah) di kantor Konsulat Belanda di Jeddah. Tak banyak catatan mengenai perempuan ini, hanya salah seorang adik iparnya mengaku istri dari Jeddah ini pernah tinggal di rumah Almatsier dan biasa dipanggil Juddah. Keduanya sudah bercerai.

Pada masa pergerakan nasional, Salim memiliki pandangan yang tak menolak poligami. Tulisannya berjudul "Perempuan dan Islam" menyikapi sikap Kartini yang menurutnya salah soal Islam dimuat Harian Hindia Baroe pada 17 dan 18 April 1925. Intisari tulisan tersebut menjelaskan posisi perempuan dalam Islam yang istimewa.

Soal Poligami sendiri, pandangan mengenai Nabi Muhammad SAW beristri empat harus dilihat dalam konteks waktu dan sejarah. Apalagi syarat adil dalam poligami, menurut Salim, bukan perkara sepele.

Namun walau tak menafikkan soal poligami, Salim sendiri berpegang teguh dengan monogomi hingga akhir hayatnya. Buku Mohammad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya 1924-1968 karya Iin Nur Insaniwati menyebutkan pemikir dan politisi Islam lain seperti Mohammad Roem dan Fakih Usman juga memegang teguh monogami dalam kehidupan pribadi.

Berbeda dengan Sukarno, yang di masa pergerakan nasional menolak keras terhadap Poligami, justru hingga 1960 'si Bung' delapan kali menikah.

Buku Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI karya Saskia Eleonora Wieringa menyebutkan Sukarno mendukung kaum perempuan nasionalis dalam pertemuan yang dipimpin oleh Soewarni Djojoseputro di Bandung pada 1929, yang menentang keras poligami. Namun hingga 1960-an Sukarno justru pernah delapan kali menikah, dan separuhnya masih dalam status istri alias dipoligam. (ayo/jat)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads