"Itu berita yang bersifat untuk penghasutan dan sesuatu tidak masuk akal. Selama saya sama beliau (Setya Novanto), saya belum pernah lihat beliau pakai jam tangan Richard Mille. Malah saya punya dan itu bukan barang yang istimewa. Saya rasa hampir semua anggota Dewan punya. Harganya memang mahal, tapi itu menurut orang tertentu, kan," ujar pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, saat dihubungi detikcom, Rabu (4/10/2017).
Dalam laporan Holden, Marliem memberikan jam tangan tersebut kepada Novanto di Beverly Hills, Amerika Serikat. Yunadi mengatakan, jika memang betul ada pemberian jam tangan tersebut, pihak berwajib di Indonesia (salah satunya KPK) dapat menelusurinya. Sebab, jam tangan mewah tersebut memiliki sertifikat atas nama pemilik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, dilansir dari wehoville.com dan staronline, Holden menulis laporan terkait pemberian jam tangan Richard Mille dari Marliem ke Novanto. Selain itu, berdasarkan pertanyaan Holden, Marliem mengaku berulang kali memberi suap kepada enam pejabat di Indonesia terkait pemenangan lelang proyek e-KTP.
Baca Juga: Misteri Bunuh Diri Marliem, Saksi Kunci e-KTP
Pernyataan Holden tersebut masuk dalam berkas tuntutan hukum yang diajukan pada Kamis lalu. Dalam tuntutan, dijelaskan Marliem diuntungkan langsung dari penyuapan yang dilakukannya.
Marliem sendiri diketahui tewas bunuh diri dengan luka tembak di kepala. Hal itu berdasarkan laporan dari Badan Pemeriksa Medis-Koroner Los Angeles, Amerika Serikat. Ia dinyatakan meninggal pada 10 Agustus 2017.
Frederich Yunadi juga menyoroti mengenai pengakuan pemberian uang ke Novanto namun disampaikan melalui mekanisme yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia.
"Semua ini kan menurut berita yang dilansir detikcom yang mana saya belum pernah membacanya, dan wajib diketahui isi tuntutan di Amerika tidak dapat digunakan sebagai bukti yang sah menurut hukum yang berlaku di Indonesia, dari berita tersebut sudah menunjukkan kejanggalan yang sangat fatal: Menurut Holden, dia menyatakan Merliem mengaku /cerita ada transfer dari Merliem ke sejumlah pejabat di Indonesia, yang mana ini kan katanya, bukan saksi yang mengetahui melihat di mana, kapan dan dalam bentuk apa hadiah dan uang tersebut diserahkan / ditransfer , NKRI tidak menganut sistem hukum seperti itu," kata Frederich.
"Ini adalah jurus KPK yang mencoba membodohi masyarakat , mengakui ada banyak saksi tapi saksi katanya.... bukan saksi yang melihat, mendengar langsung. Tidak ada yang berkapasitas sebagai saksi yang sah sebagaimana pasal 184 KUHAP , apapun yang tertera dalam tuntutan Jaksa tidak dapat digunakan sebagai barang bukti di Pengadilan Indonesia, bahkan jika ada BAP yang dilakukan di luar teritorial RI adalah tidak sah menurut hukum, kecuali BAP di KJRI (Locus delicti ). Selain itu KPK wajib bisa menemukan bukti adanya aliran dana ke Rek SN, harus bisa menujukkan bukti BPK menyatakan ada kerugian negara, tidak perku menggunakan ilmu kungfu katanya saksi ini saksi itu yang nilai hukumnya NOL alias tidak ada nilai hukumnya. Ingat NKRI berlaku hukum positif bukan progresif atau katanya," sambung Frederich. (nkn/abw)