"Kami tercerai-berai karena ombak dan menghindari patroli kapal perang Malaysia," tutur Soerito mengisahkan pengalamannya saat ditemui detikcom di kediamannya, Pisangan, Jakarta Timur, Selasa (3/10/2017) malam.
Pada usia 72 tahun, nada bicaranya masih lantang dan begitu antusias mengisahkan pengalamannya. Berbalut kaus dengan tulisan Brimob, badannya tampak tegap. Ia pensiun dari Brimob Polri pada 1998 dengan pangkat terakhir ajun komisaris besar (letnan kolonel).
Penyusupan di Malaysia, menurut Soerito, dilengkapi dengan penyamaran Syamsuddin Noor, Perdana Menteri Malaya. Timnya merupakan Divisi I Sang Pertala, sedangkan namanya disamarkan dengan Mukholik berpangkat sersan mayor.
Rencananya, pada 14 Mei 1964, Presiden Sukarno berunding dengan Tengku Abdul Rahman di Tokyo, Jepang. "Saat itu kami bahkan tidak mau memakai nama Malaysia, tetapi Malaya," tegasnya.
Selang beberapa jam, perahu tertambat di pantai wilayah Kota Tinggi, Malaysia. Mereka bersembunyi di hutan menghindari patroli pasukan gabungan Special Air Services (SAS), Gurkha, dan Tentara Diraja Malaysia.
"Seminggu makanan habis, kami survival. Jalan ke hutan, melewati pegunungan, tapi penunjuk jalan beretnis China, namanya Tambun, malah tidak tahu apa-apa," tutur Soerito.
![]() |
Akhirnya mereka terpaksa merebut logistik di sebuah toko sembako. Aksi ini tercium pasukan gabungan yang berpatroli dan menyergap tim Soerito. Kontak senjata tak terhindarkan dan menewaskan sebagian besar tim. Cuma Soerito dan Agen Polisi I Dudung yang berhasil meloloskan diri hingga ke Sungai Johor.
Berhari-hari bersembunyi tanpa logistik memaksa keduanya keluar dari hutan pada 16 Mei 1964, tapi kemudian tertangkap. Kondisi keduanya kurus kering hingga harus dirawat selama 19 hari di rumah sakit Kota Johor. Setelah itu, keduanya menjalani interogasi. Salah seorang interogatornya adalah Kapten Nasir, yang mengaku bekas pemberontak PRRI yang lari ke Malaysia. Dia rupanya mengenal Kombes Anton Soedjarwo dan Resimen Pelopor (cikal bakal Brimob) karena pernah sama-sama mengikuti pelatihan Ranger oleh Amerika.
Singkat cerita, setelah menjalani semuanya, Soerito dan anggota pasukan yang ditahan dipulangkan ke Indonesia. Tapi tak bisa langsung bergabung ke markasnya di Kelapa Dua, Depok. Selama berhari-hari lelaki dua anak itu menjalani wawancara soal Gerakan 30 September 1965 di Cikini.
"Itu sampai mingguan di-screening, ditanya soal Nasakom, G30S/PKI. Kami kan di penjara Malaysia, jadi ya tidak tahu apa-apa soal itu," papar Soerito. Setelah mereka dinyatakan bersih, Kombes Anton Soedjarwo menyambutnya.
Kini Soerito masih sering mengenang teman-temannya yang gugur selama konfrontasi di Malaysia. Sebanyak 33 anggota Resimen Pelopor Brimob tercatat meninggal. Hingga kini makam mereka tidak dapat dipastikan, beberapa meninggal karena tenggelam dalam pertempuran di laut.
Sudah beberapa kali Soerito dan kawan-kawannya menghadap pemerintah untuk mengupayakan pengembalian jenazah. Ia pernah menemui Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dan Ketua DPR Agung Laksono, tapi semuanya buntu.
"Surat ke Presiden sudah dilayangkan oleh veteran marinir, juga tidak ada apa-apa, mungkin tertahan suratnya," keluhnya. (jat/jat)