"Kalau menurut saya Brimob itu justru mengalami perluasan kompetensi dari semula yang cuma ranger menjadi ada unit-unit baru seperti Jihandak, Pelopor, dan Gegana," kata Muradi saat berbincang dengan detik.com, Selasa (3/10/2017) pagi.
Organisasi Brimob saat ini, penulis buku Quo Vadis Brimob β Polri? itu melanjutkan, telah berkembang menjadi institusi yang merespons setiap ancaman keamanan dalam negeri untuk tetap terjaganya NKRI. Secara struktrural juga unit-unit yang ada telah berkembang dan terdapat di semua polda dengan unit-unit yang tidak hanya Pelopor dan Gegana tapi juga berkembang menjadi sub unit yang memiliki kualifikasi paramiliter yang mumpuni dan handal.
Dalam makalahnya, Reformasi Brimob Polri Antara Tradisi Militer-dan Kultur Polisi Sipil, Muradi menulis, di masa Orde Baru posisi Brimob secara langsung menjadi 'kaki tangan' dari ABRI yang secara organisasi melakukan subordinat kepada Polri, dan Brimob. Hal ini mempengaruhi psikologis anggota Brimob khususnya di kemudian hari. Di masyarakat berkembang anekdot Brimob, "polisi bukan, tentara belum".
Karena sekitar 30 tahun lebih banyak menjadi alat kekuasaan bukan alat negara, menjelang kejatuhan Orde Baru, Brimob ikut menjadi sasaran kecaman masyarakat karena praktik kekerasan yang dilakukan. "Hingga kejatuhan Soeharto, Brimob masih mewartakan diri sebagai polisi paramiliter yang memiliki kekhasan dan warna militeristik yang kental," tulisnya.
Tapi sejak 2010, Muradi melanjutkan, warna Brimob sudah mengarah kepada polisi sipil yang lebih humanis seperti diamanatkan undang undang. Hal ini seiring perubahan motto Brimob dari yang sebelumnya, "Sekali Melangkah Pantang Menyerah, Sekali Tampil Harus Berhasil" yang lebih terkesan militeristik, menjadi "Jiwa Ragaku Demi Kemanusiaan". "Filosofi dari motto tersebut lebih bernuansa sipil," ujarnya. (jat/erd)











































