"Kita masih tunggu itu. Makanya kita harus hati-hati kan soal keputusan mati itu jangan sampai ada kekeliruan setelah orangnya sudah ditembak mati ternyata keputusannya berbeda," kata Prasetyo, di Kejaksaan Agung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Jumat (19/9/2017).
Fatwa yang ditunggu tersebut berkaitan dengan putusan MK Nomor 107/PUU-XII/2015 yang menghapus berlakunya Pasal 7 ayat 2 UU No 5 Tahun 2010 tentang Grasi. Putusan itu mengubah aturan terpidana mengajukan permohonan grasi menjadi kapan saja, dari sebelumnya pengajuan grasi paling lambat dilakukan setahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menegaskan eksekusi mati tidak akan dilakukan dalam waktu dekat. "Ya (dalam) sehari dua hari ini belum," ucapnya.
Sebelumnya, Kejagung telah berkirim surat meminta fatwa dari MA dan MK sejak Agustus 2017. Surat itu dimaksudkan untuk meminta fatwa penghapusan pembatasan permohonan grasi.
"Saya sudah minta kepada Jampidsus dan Jampidum, kita akan minta fatwalah kepada Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi biar ada kepastian, kalau nggak gantung terus, kita tidak bisa melaksanakan putusan sudah inkrah, sementara dimainkan para terpidananya untuk mengulur waktu," kata Prasetyo di kantornya, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Jumat (18/8/2017).
Permohonan itu berkaitan dengan niat Prasetyo untuk kembali melakukan eksekusi terpidana mati. Prasetyo mengatakan dalam putusan MK yang baru tidak memberi batasan kapan pengajuan grasi dilakukan, sedangkan sebelumnya diatur grasi diberi waktu 1 tahun setelah putusan inkrah.
Sebelumnya, MK memutuskan permohonan grasi tidak dibatasi oleh waktu dalam Pasal 7 Ayat (2) UU tentang Grasi. Namun demikian, grasi tidak bisa menunda pelaksanaan eksekusi mati.
Menurut MK, tindakan demikian secara doktriner tetap dibenarkan meskipun ketentuan demikian tidak diatur secara eksplisit dalam UU Grasi.
"Sehingga demi kepastian hukum tidak ada larangan bagi jaksa selaku eksekutor untuk menanyakan kepada terpidana atau keluarganya perihal akan digunakan atau tidaknya hak untuk mengajukan grasi tersebut," putus majelis dengan suara bulat. (yld/asp)











































