Laode mengatakan pada saat itu ada beberapa hal yang dibahas, antara lain soal penyidik independen KPK, manajemen penyidikan, dan laporan BPK atas keuangan KPK. Persoalan muncul saat Komisi III membacakan kesimpulan RDP tersebut.
"RDP membahas berbagai hal, dari soal penyidik independen, manajemen penyidikan, dan laporan BPK. Persoalan ada di kesimpulan rapat," kata Laode dalam persidangan di gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (28/9/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keempat, Komisi III meminta KPK melakukan klarifikasi dengan membuka rekaman BAP atas nama Miryam S Haryani terkait penyebutan sejumlah nama anggota Dewan. Poin inilah yang ditolak oleh KPK. Karena kami anggap bukan ranah RDP, tapi proyustitia. Jadi kami tidak bisa serahkan ke Komisi III," ucap Laode.
Karena adanya penolakan dari pimpinan KPK tersebut, Komisi III mengatakan akan melakukan hak angket pada KPK. Namun pimpinan KPK saat itu tetap teguh pada pendirian untuk menolak membuka rekaman BAP Miryam.
"Akhirnya masing-masing fraksi memberikan pandangan khusus terkait sikap KPK yang menolak pembukaan rekaman. Sehingga muncul kesimpulan untuk menggunakan hak angket terhadap KPK," paparnya.
Tidak berhenti di situ, Pansus Angket KPK juga sempat mengirimkan surat kepada KPK untuk menghadirkan Miryam untuk diperiksa Pansus. Namun, lagi-lagi KPK menolak permintaan tersebut. Karena itu, Laode menyebut, sulit menangkap ide positif Pansus Angket KPK.
"Jadi sekali lagi sulit untuk menangkap secara positif ide di balik Pansus Angket KPK. Karena faktanya, menggunakan hak angket KPK adalah karena pimpinan KPK menolak memutarkan rekaman dan menghadirkan Miryam karena saat ini yang bersangkutan tengah menjalani proses hukum," tegasnya.
Laode juga menegaskan KPK memiliki dasar yang kuat dalam menolak Komisi III yang mendesak membuka rekaman BAP Miryam. Menurutnya, pembukaan rekaman hanya bisa dilakukan dalam proses penegakan hukum. Apalagi, bila rekaman tersebut dibuka di RDP, besar kemungkinan terjadi konflik kepentingan di tubuh DPR.
"Seharusnya rekaman hanya dapat dibuka dalam proses penegakan hukum. Selain itu, berpotensi terjadinya konflik kepentingan karena terdapat nama-nama anggota Dewan yang terkait dalam rekaman itu," ucap Laode.
Tak hanya itu, bila KPK mengizinkan pembukaan rekaman BAP Miryam, mereka beranggapan pola yang sama akan terus dilakukan oleh DPR bila ada kasus yang ditangani KPK apalagi bila kasus tersebut menyangkut anggota DPR.
"Dapat dibayangkan bila KPK memenuhi permintaan tersebut. Seluruh kasus yang ditangani KPK dan menyangkut anggota DPR akan berpotensi terus dibuka dengan pola yang sama sebelum penegakan hukum," ucap pengajar FH Universitas Hasanuddin, Makassar, itu. (bis/asp)