"Beberapa bulan berselang, saya pernah membahas tentang RUU penyiaran, utamanya pengelolaan frekuensi dan infrastruktur penyiaran di berbagai media massa, termasuk di sebuah televisi yang disiarkan secara live. Pada pembahasan tersebut saya berpendapat, untuk menjamin kebebasan berpendapat, sejatinya negara memberikan otonomi kepada lembaga penyiaran (LP) mengelola semua aspek, termasuk frekuensi dan infrastruktur yang terkait dalam proses memproduksi program acara," ujar Direktur Eksekutif Emrus Corner, Emrus Sihombing dalam keterangannya, Minggu (24/9/2017).
Wacana publik pembahasan RUU penyiaran muncul kembali pekan ini. Utamanya pengeloaan frekuensi dan infrastruktur penyiaran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait dengan kedua wacana tersebut, EmrusCorner menyajikan simulasi terhadap kedua pandangan tersebut berikut ini. Berikut simulasinya:
Pengeloaan terpusat. Bila pengelolaan sentralistik atau tunggal, maka operator
mengendalikan frekuensi dan infrastruktur
digital oleh suatu badan atau konsorsium bentukan dari suatu kepentingan tertentu.
Dengan model ini, operator dipastikan menyewakan kanal
kepada content provider atau LP. Dipastikan pula bahwa harga sewa lebih ditentukan oleh operator yang bersangkutan. Sedangkan pihak LP otomatis "termarjinalisasi".
Dengan skema semacam itu, tentu berpotensi menimbulkan praktek monopoli yang mendorong terciptanya persaingan usaha yang kurang
sehat.
Selain itu, bisa terjadi dominasi operator terhadap pihak LP. Sebab, operator menguasai frekuensi dan
infrastruktur yang dapat membatasi
gerak langkah LP memproduksi program acara yang secepat mungkin disampaikan kepada publik dan bermutu.
Bagaimama bila otonom? Ciri sebuah negara demokrasi yang maju, dipastikan semakin memberikan kepercayaa kepada warganya, termasuk kepada pihak swasta untuk mengelola sektor kepentingan publik. Karena itu, memberikan kepercayaan atau otonomi kepada LP
mengelola frekuensi dan infrastruktur
masing-masing sekaligus bukti bahwa Indonesia merupakan negara penganut demokrasi terbaik ketiga di dunia.
Dengan otonomi tersebut, LP memiliki kebebasan menyampaikan pendapat tanpa diganggu oleh pengendalian teknologi yang tersentralistik. Tentu hal ini sejalan dengan kebebasan berpendapat yang diamanatkan konstitusi kita.
Di samping itu juga, dengan pola otonomi ini akan terhindar terjadinya praktek monopoli karena semua LP dapat mengelola sendiri frekuensi dan infrastruktur masing-masing.
Dengan prinsip pengelolaan otonomi tersebut dan kemudian lambat laun secara natural, LP bermigrasi secara alami
ke sistem digital. (fjp/fjp)