"Jadi saya sampaikan kepada Executive Committee, 7 items (rancangan resolusi bidang politik) sebenarnya kita tidak keberatan. Bahkan ada usulan Indonesia. Tapi kita tidak ingin membicarakan politik tanpa isu kedelapan soal Rohingya, juga untuk dibicarakan," ucap Ketua Delegasi Indonesia untuk AIPA Fadli Zon seusai agenda Courtesy Call di Hotel Shangri-La Makati, Manila, Filipina, Selasa (19/9/2017).
Namun niat Indonesia terhambat oleh prosedur yang berlaku. Yaitu statuta yang mengharuskan keputusan diambil lewat konsensus. Myanmar sendiri berkeras menolak rancangan 'Resolusi Memperkuat Upaya Parlemen Mengatasi Isu Kemanusiaan di ASEAN', yang diajukan Indonesia dan Malaysia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi karena prosedur dan mekanisme di situ (AIPA), kita kan sebagai negara besar harus dihargai dong. Kita kan mewakili yang (penduduk) 260 juta. Masak kita disamain dengan yang 500 ribu, 5 juta gitu," lanjutnya.
Melalui forum ini, parlemen Indonesia menunjukkan tajinya. Kerasnya pendirian delegasi Indonesia menghasilkan preseden baru dalam sejarah AIPA yang sudah 4 dekade berdiri.
"Ya harus dong. Kita sebagai negara besar harus menunjukkan bahwa negara kita negara besar. Walaupun kita menghargai negara-negara lain. Tetapi kalau masalah ini diabaikan karena masalah prosedural, saya kira tidak bisa diterima itu," tegas Wakil Ketua DPR itu.
Sikap Indonesia justru mendapat respons positif dari negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. Ada pula delegasi Uni Eropa.
"Saya kira mereka menghargai. Bahkan beberapa delegasi negara lain berkata memang harus begitu. Termasuk dari beberapa negara Uni Eropa, datang kepada saya, memang bilang ini isu yang harus diangkat," tutur politisi Gerindra ini. (nif/idh)











































