"Mereka (dalam setahun) 210 (rancangan/revisi undang-undang) yang jadi 8, kita 40 yang jadi 10-lah. Jadi masih ada 25 persen. Cuma kadang-kadang masyarakat kita selalu yang dihitung adalah produk undang-undang. Seolah DPR pabrik undang-undang. Padahal kita bukan seperti pabrik sepatu. Berapa produksi sepatu dalam setahun. Padahal seharusnya yang dilihat prosesnya. Itu membuatnya lama sekali," kata Fadli, yang juga Ketua Delegasi Indonesia untuk ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA), di KBRI Manila, Filipina, Minggu (17/9/2017).
Menurut Fadli, data soal RUU itu adalah hasil perbincangannya dengan Ketua Parlemen Filipina Panteleon D Alvarez. Memang ada sistem yang membuat parlemen Filipina menghadapi proses panjang dalam penggodokan undang-undang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fadli kemudian membandingkannya dengan Undang-Undang Pemilu yang baru saja disahkan. Menurutnya, proses UU Pemilu berlangsung cepat karena ada tenggat yang harus dipenuhi. Walaupun ujungnya pengambilan keputusan dilakukan melalui voting.
Berbanding terbalik dengan revisi undang-undang terorisme yang harus melalui proses lama. Sebab, banyak pertimbangan yang harus ditakar agar tidak ditunggangi kepentingan seperti sebelumnya.
Ada pula yang memakan waktu hingga beberapa dekade, seperti KUHP, yang mulai direvisi pada 1960-an.
"Bahkan kita sebenarnya pakai undang-undang dari Belanda tahun 1946. Jadi undang-undang Belanda sudah berubah berkali-kali, tapi undang-undang kita hasil warisan Belanda belum selesai. Mudah-mudahan selesai tahun ini. KUHP penting diselesaikan periode ini karena kalau tidak, negara kita tidak maju-maju," ucap Fadli.
Fadli juga sempat menyinggung soal Pansus Hak Angket KPK, yang sedang berjalan serta melaksanakan fungsi evaluasi dan pembenahan. Dia menekankan supaya jangan sampai ada pelemahan terhadap lembaga antirasuah.
"Sekarang di dalam Pansus (isinya) adalah partai pendukung pemerintah: PDIP, Golkar, PPP. Jadi fraksi di luar pemerintahan, termasuk fraksi saya, tidak ikut. Tapi kita prinsip jangan sampai melemahkan KPK. Tapi perlu evaluasi dan pembenahan," pungkasnya. (nif/idh)











































