Bicara soal kesehatan wanita yang lekat dengan kemanusiaan, Nurhayati, yang juga delegasi Indonesia, tergelitik mengkritisi kasus Rohingya. Menurutnya, sikap Myanmar bertolak belakang dengan adanya krisis kemanusiaan atas etnis Rohingya.
"Saya ingin memberitahukan bahwa hari ini adalah Hari Demokrasi Internasional. Bicara soal demokrasi dan kesehatan, ini justru tidak sejalan dengan yang terjadi saat ini di Myanmar. Di mana perempuan dan anak-anak banyak menjadi korban," ucap Nurhayati di Hotel Shangri-La Makati, Manila, Filipina, Jumat (15/9/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Presiden International Humanitarian Law (IHL) Inter-Parliamentary Union kemudian mengusulkan agar WAIPA memberi peringatan keras terhadap Myanmar. Namun usulan tersebut ditolak oleh Myanmar.
Tak menutup mata, WAIPA akhirnya menyetujui untuk mencatat hal ini. Mengingat bahasan seputar rancangan resolusi Indonesia atas kekerasan terhadap etnis Rohingya dan krisis kemanusiaan di Myanmar belum menemukan titik temu untuk kembali dibahas.
Dalam forum pertemuan komite eksekutif sebelumnya, Indonesia mengajukan rancangan 'Serangan Kekerasan Rohingya dan Krisis Kemanusiaan di Myanmar' sebagai agenda politik. Myanmar menolak hal ini dengan dalih sedang menyelesaikan permasalahan ini sendiri.
Karena kedua negara sama-sama kukuh pada pendirian masing-masing, akhirnya diputuskan oleh Presiden AIPA hal itu dibahas kembali besok. Jika Myanmar masih tutup mata, dan AIPA tidak mengabulkan usulan ini, Indonesia akan angkat kaki dalam forum yang terselenggara untuk yang ke-38 kali ini.
"Kalau begini terus, kita pulang saja. Tidak usah ikut agenda AIPA berikutnya," ucap Wakil Ketua DPR Fadli Zon di tengah reses bersama delegasi Myanmar, yang dimediasi oleh Presiden AIPA Pantaleon D Alvarez. (nif/nvl)











































