Tragedi Tanjung Priok: Islah Ditolak, Proses Hukum Tak Tuntas

Tragedi Tanjung Priok: Islah Ditolak, Proses Hukum Tak Tuntas

Aryo Bhawono - detikNews
Rabu, 13 Sep 2017 12:02 WIB
Andhika Akbaryansyah
Jakarta -
Masjid Sunda Kelapa, 1 Maret 2001. Duduk meriung sejumlah mantan perwira tinggi ABRI seperti Try Sutrisno, Sugeng Subroto, Pranowo, R. Butar-butar, dan Sriyanto. Di pihak lain ada perwakilan keluarga korban tragedi Tanjung Priok, 12 September 1984, yakni Syarifudin Rambe, Ahmad Sahi, Sofwan Sulaiman, Nasrun, Asep, Sudarto, dan Khotimah.
Mereka berkumpul bersama untuk melakukan islah atau perdamaian yang disaksikan oleh cendekiawan muslim Nurcholis Madjid dan Salahudin Wahid (adik kandung Presiden Abdurrahman Wahid).
Islah ini ditempuh karena sebagian para korban sudah tidak percaya lagi pada peradilan. "Kepercayaan kami sudah luntur. Islah ini bertujuan mewujudkan rasa persaudaraan dalam bentuk kejujuran yang konkret dan terarah, serta segala permasalahan yang ada dinyataan selesai," kata Dewi Wardah, isteri Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat yang menjadi korban Tanjung Priok kepada pers kala itu.
Sikap Dewi dan mereka yang menerima islah menuai kritik dan kecaman dari sejumlah pihak. Mereka dituding hanya mengejar uang damai yang jumlahnya puluhan juta rupiah.
Wakil Ketua DPR AM Fatwa termasuk yang vokal mempersoalkan proses islah tersebut. Dia menyebut islah tersebut sebagai pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Secara khusus dia menyampaikan kekecewaannya terhadap Nurcholish (Cak Nur).
"Saya kan bekas korban sedangkan Cak Nur bukan. Saya berkawan dekat tapi berbeda pandangan. Saya tidak setuju islah dengan menghilangkan keputusan pengadilan," kata Fatwa saat dihubungi detikcom, Selasa (12/9/2017).
Fatwa melanjutkan, persidangan dengan kesaksian yang memberatkan terdakwa dari pihak militer dalam persidangan.
Ia curiga islah untuk menggagalkan pengadilan Adhoc untuk menuntaskan pelanggaran HAM Tanjung Priok. Ia juga mendengar kabar mantan Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani sempat mendekati Presiden Gus Dur agar menolak solusi melalui hukum.
"Tapi Presiden tidak mau memenuhi permintaan dan mengeluarkan Keppres Pengadilan HAM Adhoc Timor-Timur dan Tanjung Priok," kata Fatwa.
Sekadar mengingatkan, tragedi Tanjung Priok bermula ketika pada 8 September 1984, dua Babinsa masuk ke Musala As-Sa'adah di Gang IV Koja tanpa melepas sepatu untuk mencopot pamflet berisi ujaran kebencian terhadap pemerintah. Jemaah pun marah dan memicu keributan. Ketika keesokan harinya dilakukan mediasi, ada warga yang justru merusak sepeda motor milik aparat. Para pelakunya lalu ditangkap dan ditahan di Polres dan Kodim setempat.
Kenyataan itu kian memantik emosi warga. Pada 11 September, Amir Biki, tokoh masyarakat, coba memediasi agar empat warga yang ditahan dilepaskan. Tapi permintaan itu tak dihiraukan. Ke esokan harinya, sekitar 1.500 orang warga berkumpul dan bergerak menuju Polres dan Kodim yang berjarak sekitar 200 meter. Mereka disambut desingan peluru aparat sehingga jatuh korban jiwa 24 orang dan 55 orang lainnya terluka.
Pada 2006, Mahkamah Agung menganulir putusan sidang Pengadilan HAM adhoc atas pelanggaran HAM Tanjung Priok. Kasus Tanjung Priok dianggap bukan kasus pelanggaran HAM. Penuntasan kasus ini hingga kini tak menemukan titik temu dan hanya menjadi tumpukan berkas penyelidikan Komnas HAM di antara berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Dua hari lalu, dalam rangka mengenang 33 tahun tragedi Priok, Forum Hak Asasi Manusia (FAHAM), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, dan Amnesti Internasional Indonesia kembali mengungkit penyelesaian kasus tersebut. Mereka meminta Unit Kerja Presiden untuk Pemantapan Ideologi Pancasila untuk melakukan evaluasi berbagai tragedi kemanusiaan di Indonesia. "Peristiwa ini adalah salah satu bentuk kekerasan negara akibat pemaksaan ideologi. Contoh lainnya adalah peristiwa Talangsari 1989," kata Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Indonesia Usman Hamid.
(jat/jat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads