KPK OTT Hakim, MA: Itu Oknum

KPK OTT Hakim, MA: Itu Oknum

Bisma Alief Laksana - detikNews
Kamis, 07 Sep 2017 17:59 WIB
Hakim agung Suhadi (ari/detikcom)
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) membantah pernyataan Komisi Yudisial (KY) yang menyebut sistem pembinaan mereka tidak berjalan. Di mata MA, para hakim dan aparat yang tertangkap adalah oknum semata.

"Itu oknum," kata hakim agung Suhadi saat dihubungi detikcom, Kamis (7/9/2017).

MA berkilah sistem pembinaan mereka sudah cukup ketat dengan adanya Perma Nomor 8/2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan MA dan Badan Peradilan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bagaimana tidak jalan (sistem pembinaan MA). Kita setiap saat pimpinan ke bawah memberikan pembinaan. Regulasi, ada Perma Nomor 8/2016 itu ketat sekali," ujar Suhadi.

Tak hanya mengandalkan Perma Nomor 8/2016, Suhadi juga menyebut salah satu pembinaan yang dilakukan MA adalah dengan mengadakan tes kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap ketua pengadilan.

"Dan semua ketua pengadilan ikut fit and proper test," ucap Suhadi.

Selain itu, Suhadi menjelaskan pimpinan MA sudah melakukan segala cara untuk memberantas korupsi di peradilan. Bahkan sampai melakukan penyamaran, seperti yang dilakukan hakim Artidjo Alkostar. Semua dilakukan semata-mata untuk melakukan pembinaan.

"Pimpinan sudah melakukan berbagai cara, sampai menyamar. Itu bagian dari pembinaan. Tiap 2 bulan pimpinan ke provinsi mengumpulkan hakim, untuk memantau. Seharusnya mereka kalau ada rasa memiliki, mereka patuh pada aturan," ucap Suhadi.

Karena merasa sistem pembinaan yang dilakukan oleh MA sudah cukup ketat, Suhadi menyatakan, bila masih ada aparat peradilan yang melakukan korupsi, itu hanya oknum. Sebab, menurutnya, semua dikembalikan pada integritas tiap orang.

"Kita lihat ini kan personel ada hakim karier, hakim ad hoc, dan panitera pengganti. Mereka itu pasti berhubungan dengan perkara. Mereka itu aktor pemeriksaan perkara. Mereka yang sering berkomunikasi. Jadi begitu, kenapa sering terjadi (OTT KPK) kalau tidak hakim dan panitera (yang tertangkap). Tergantung integritas orangnya. Itu oknum," papar Suhadi.

Perlu Perbaikan Struktur, Bukan Normatif

Sementara itu, Kabid TPK dan TPPU Peradi Alvon Kurnia Palma menyatakan permasalahan hukum yang ada di Indonesia harus dilakukan dalam pendekatan struktural dan bukan secara normatif atau kultural.

"Kalau dalam pendekatan normatif, maka yang suatu permasalahan akan diukur dari ada atau tidaknya aturan dan bagaimana implementasinya. Dalam konteks ini tidak dilihat lebih, apakah aturan yang ada memberikan ruang terhadap terjadinya permasalahan (korupsi) atau tidak. Jika penuntasan tindak pidana korupsi dilakukan oleh aparat penegak hukum didasari dari suatu aturan yang memberikan ruang terjadinya masalah korupsi, maka sampai kapan pun akan terjadi dan kesalahan akan ditimpakan pada orang (oknum) yang melakukan kesalahan," ujar Alvon.

Berbeda dengan pendekatan struktural yang melihat realitas masalah korupsi secara menyeluruh hingga sampai dinamika hukum itu bergerak untuk penegakannya. Norma hukum bukan satu-satunya instrumen untuk melihat dan mengukur permasalahan, melainkan ada instrumen lain. Terutama struktur politik yang menyelimuti perbuatan jahat tindak pidana korupsi itu.

"Nah, saat terjadi masalah, maka yang akan diperbaiki adalah struktur yang ada," cetus Alvon.

Dalam pendekatan struktur ini, terjadinya masalah dapat diminimalkan karena sudah terpandu oleh adanya struktur hukum. Hal itu termanifestasi menjadi sistem dan norma-norma hukum yang setiap saat dapat direfleksikan menuju perbaikan.

"Jadi akan meminimalisir pengulangan terjadinya permasalahan pada orang atau oknum. Soal pengawasan juga masuk dalam struktur sistem dan mekanisme oversight kelembagaan dari pimpinan atau person in charge," pungkas Alvon. (bis/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads