"Kami sekali lagi menegaskan bahwa perkara pengujian undang-undang ini adalah terkait dengan norma di Mahkamah Konstitusi, beda dengan persidangan perdata di pengadilan negeri, di mana bisa ditemukan para pihak, bisa dinego-negokan, bisa dirundingkan, sehingga dicabut gugatan. Nah, ini kami tidak ingin dan kami sudah menolak permohonan IDI untuk bertemu terkait dengan persoalan ini," kata pengacara penggugat, Andi Asrun.
Hal itu disampaikan dalam sidang pada Senin (4/9) kemarin sebagaimana dikutip dari risalah MK yang dilansir website MK, Selasa (5/9/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asrun juga keberatan dengan kesaksian dr Mahesa Paranadpa Maikel. Sebab yang bersangkutan ini adalah salah satu ketua dari PB IDI.
"Jadi menjadi Pihak Terkait dan sudah hadir beberapa kali dalam persidangan ini. Jadi, untuk menghindari konflik kepentingan, saya kira, kami mohon agar dr Mahesa ini didrop atau tidak dijadikan saksi dalam perkara ini," pinta Asrun.
Atas hal itu, Ketua MK Arief Hidayat menyatakan semua proses di MK sudah diatur oleh hukum acara. Para pihak, termasuk MK harus tunduk kepada hukum acara tersebut.
"Kalau tidak ada pencabutan dan tidak ada surat resmi, ya, kita berjalan sebagaimana yang harus kita lakukan. Ya, sesuai dengan peraturan hukum acara di Mahkamah Konstitusi," kata Arief.
Sebelumnya diberitakan, ketiga dokter yakni Judilherry Justam, Nurdadi Saleh, dan Pradana Soewondo menggugat UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Dokter ke MK. Gugatan tersebut dilakukan karena menilai adanya praktik monopoli yang dilakukan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam mengeluarkan sertifikasi profesi dokter.
Mereka memandang tidak perlu ada sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia (KDI) yang dibentuk IDI. Sebab, setiap lulusan Fakultas Kedokteran yang telah diuji kompetensi sesuai UU Pendidikan Kedokteran, mendapat sertifikat berupa ijazah dokter. Selain itu para pemohon juga meminta dipisahkan KDI dari IDI. (asp/rvk)











































