Kebijakan itu, menurut Andi Mappetahang (AM) Fatwa yang pernah menjadi staf ahli gubernur Ali Sadikin, sengaja dibuat karena sadar sangat sulit memberantas perjudian. Bandar judi yang bertebaran di Jakarta punya beking banyak jenderal. Bang Ali melegalkan judi agar uang pajak atau retribusi judi tak hanya memperkaya beberapa jenderal itu.
"Ide-nya Bang Ali adalah supaya uang judi ini bisa dinikmati masyarakat maka harus dikenai pajak oleh pemerintah dan dipakai untuk pembangunan," papar Fatwa kepada detikcom ketika ditemui di Gedung DPD beberapa waktu lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalau tidak setuju pekuburan tersebut dipindah untuk efisiensi karena Jakarta kekurangan lahan kosong, ia melanjutkan, "Apakah tidak sebaiknya jenazah dikubur berdiri atau dibakar saja?"
Di antara para tokoh dan ulama yang kerap mengkritik kebijakan Bang Ali adalah Ketua MUI KH Buya Hamka. Setiap kali Buya menulis kritik, Ali mengaku selalu membacanya. "Saya lalu menelepon dan mengundangnya untuk bertemu dan kami bertukar pikiran," kata Bang Ali dalam biografi Ali Sadikin Membenahi Jakarta Menjadi Kota Manusiawi karya Ramadhan KH.
Tapi entah kenapa, hal itu tak pernah dilakukannya terhadap mantan Perdana Menteri M. Natsir yang juga kerap mengkritiknya melalui media massa. Di buku itu, Ali mengungkapkan bahwa dirinya ada menaruh perasaan tidak suka terhadap Natsir. "Karena beliau melawan Bung Karno," kilahnya.
Di pengujung 1974, ketiga tokoh itu sama-sama menunaikan rukun Islam yang kelima. Saat dikarantina, kamar Ali dan Hamka bersebelahan sehingga keduanya kerap berkomunikasi. Tapi tidak dengan Natsir.
Kontak komunikasi dan pertemuan Ali dan Natsir baru berlangsung di sela-sela ibadah haji di Mekkah. Itu pun atas prakarsa dan peran AM Fatwa, H. Ghazali Sahlan (tokoh Muhammadiyah), H. Hartono Mardjono (anggota DPRD DKI), dan H. Idid Junaidi (pengusaha). Niat untuk mempertemukan kedua tokoh yang tak harmonis itu, kata Fatwa, terbetik kala mereka berbincang santai usai salat subuh di Masjidil Haram.
Fatwa bertugas menyampaikan kepada Bang Ali, Idid berbicara kepada Natsir. Tak cuma menyambut baik ide pertemuan, Bang Ali malah langsung menyatakan dirinya yang akan bertandang ke penginapan Natsir karena usia ulama itu sudah sepuh. Sebaliknya Natsir berkeras agar ia yang bertandang ke tempat Bang Ali sebagai pejabat.
Alhasil kedua tokoh itu akhirnya bertemu di rumah salah satu syeh sambil menikmati teh dan hidangan kambing guling. Pembicaraan keduanya pun langsung hangat. Tak ada lagi sekat emosi seperti yang terjadi di tanah air.
"Keduanya berbincang mengenai banyak topik. Pertemuannya ramah tamah dan kelak dilanjutkan di Indonesia," tulis Fatwa dalam buku Menggugat Dari Balik Penjara: Surat-Surat Politik A.M. Fatwa.
Sementara Bang Ali dalam biografinya menyatakan, "Alhamdulillah perasaan tidak suka yang pernah hinggap pada diri saya terhadap Pak Natsir karena beliau melawan Bung Karno, hilang lenyap dengan pertemuan kami di Mekkah itu."
Orang macam beliau ini, Ali melanjutkan, adalah pejuang yang mementingkan rakyat banyak, agama, dan juga konsisten! (jat/bag)