Kritik Bambang disampaikan dalam mimbar bebas di kantor Wali Kota Tegal pada 17 April 2015. Kala itu, Bambang mengkritik pemilihan Komisaris PDAM yang dinilai tidak sesuai dengan Perda Kota Tegal Nomor 4/2011 tentang PDAM.
"Penyampaian pendapat adalah hak dan kebebasan warga negara sesuai UU," kata Bambang membela diri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 18 Januari 2016, PTUN Semarang mencabut SK pemecatan Bambang. Bunda Sitha tidak terima dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi TUN Surabaya. Majelis tinggi tetap menguatkan putusan PTUN Semarang.
Masitha masih tidak terima dan mengajukan kasasi. Di tingkat terakhir itulah, kondisi berbalik arah. MA menganulir dua putusan sebelumnya dan menolak gugatan Bambang.
"Menolak gugatan penggugat," kata majelis kasasi sebagaimana dikutip dari website MA, Rabu (30/8/2017).
Duduk sebagai ketua majelis, Irfan Fachruddin, dengan anggota, Is Sudaryono dan Harry Djatmiko. Namun Is Sudaryono memilih dissenting opinion dan menilai pemecatan Bambang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemecatan itu juga melanggar asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas pemberian alasan dan motivasi serta asas bertindak cermat. Namun jumlah suara Is Sudaryono kalah dibanding dua hakim agung lainnya.
Berbeda dengan Bambang, dua aktivis antikorupsi Tegal, Agus dan Udin, malah harus meringkuk di penjara selama 5 bulan. Agus-Udin dihukum PN Tegal karena mengkritik Masitha di media sosial. Belakangan, MK memenangkan Agus-Udin karena yang membuat laporan kasus itu adalah Amir Mirza Hutagalung, bukan Masitha sendiri. (asp/fdn)











































