Kabag Mitra Divisi Humas Polri Kombes Awi Setiyono mengatakan indikasi pembagian uang itu terlihat dari proposal yang disita penyidik saat pemeriksaan. Tarif-tarif yang diajukan pelaku kepada kliennya tertera dalam proposal itu.
"Kemudian terkait tadi masalah pemesanan itu begini untuk proses penyidikan ini, penyidik menemukan ada satu proposal," kata Awi di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (25/8/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari Rp 72 juta itu, uang yang dipakai untuk pembuatan website sebesar Rp 15 juta. Para buzzer yang beroperasi di media sosial lewat sebaran-sebaran konten SARA biasa dihargai Rp 45 juta untuk 15 orang dalam satu kali proyek.
"Di sana bunyi proposal untuk pembuat web, dia patok harga Rp 15 juta. Kemudian untuk membuat buzzer sekitar 15 orang dikenakan biaya sebulan Rp 45 juta," ucapnya.
Sang ketua Jasriadi ternyata punya tarif khusus. Dia meminta dianggarkan Rp 10 juta untuk dirinya sendiri.
"Kemudian dia sendiri ketuanya itu mematok harga Rp 10 juta kemudian yang lainnya jadi total Rp 72 juta dari angka yang tadi. Yang terakhir ada cost untuk wartawan. Ini kan baru data-data yang ditemukan dari yang bersangkutan," tuturnya.
Selain itu, Awi juga menyebut ada cost untuk wartawan dari uang yang berjumlah Rp 72 itu. Namun pihaknya masih perlu mendalami lagi mengenai kebenaran informasi tersebut.
"Itu kan proposalnya dia yang kita temukan. Tapi belum tentu kan. Itu yang perlu proses pendalaman. Kita tidak percaya begitu saja. Kalau dia tulis begitu apa kita langsung percaya iya? Teman-teman wartawan dirugikan juga toh. Itu temuan-temuan," pungkasnya. (knv/idh)