Dagang Keadilan, dari Panitera hingga Uang di Kloset Sekretaris MA

Dagang Keadilan, dari Panitera hingga Uang di Kloset Sekretaris MA

Andi Saputra - detikNews
Kamis, 24 Agu 2017 10:49 WIB
Edy Nasution (ari/detikcom)
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) memperberat hukuman Edy Nasution dari 5,5 tahun penjara menjadi 8 tahun penjara. Saat menjadi Panitera PN Jakpus, Edy menjadikan perkara perdata menjadi barang dagangan. Keadilan pun diperjualbelikan.

Berikut kronologi kasus Edy Nasution sebagaimana dirangkum detikcom, Kamis (24/8/2017):

22 Februari 2016
Sekretaris MA Nurhadi sebagai ketua panitia seleksi meloloskan Edy menjadi kandidat Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Dirjen Badilum.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Awal April 2016
Edy menikahkan anaknya.

20 April 2016
KPK mencokok Edy karena menerima segepok uang dari pimpinan perusahaan Lippo Group, Doddy Arianto Supeno di sebuah parkiran hotel sekitar pukul 10.00 WIB. Uang Rp 50 juta itu sebagai uang 'kado' pernikahan anak Edy yang diberikan belakangan.

21 April 2016
Penyidik KPK mendatangi rumah pribadi Sekretaris MA Nurhadi di bilangan elit Kebayoran Baru, Jakarta pada subuh buta. Sempat terjadi percekcokan antara penyidik KPK dan pengawal Nurhadi.

Saat penyidik KPK masuk ke rumah Nurhadi, istri Nurhadi, Tin Zuraida merobek berbagai dokumen. Dalam penggeledahan itu, penyidik KPK menemukan uang miliaran rupiah di toilet kamar Nurhadi. Siapakah Tin? Ia juga salah satu pejabat tinggi di MA.

Siang harinya, ruang kerja Nurhadi digeledah KPK. Nurhadi dicegah bepergian ke luar negeri.

31 Mei 2016
Nurhadi diperiksa KPK sebagai saksi. Hingga kini, Nurhadi masih berstatus saksi.

1 Juni 2016
Giliran Tin yang diperiksa KPK. Hingga kini, Tin juga masih berstatus sebagai saksi.

15 Agustus 2016
Nurhadi membantah dirinya dikaitkan dengan kasus yang menjerat Edy-Doddy.

"Bahwa saya disebut promotor itu salah sama sekali, itu tidak benar, saya tidak tahu disebut nama itu, sementara saya tidak kenal Hesti," ujar Nurhadi di sidang.
Dagang Keadilan, dari Panitera hingga Uang di Kloset Sekretaris MA

Nurhadi juga menolak dikait-kaitkan dengan perusahaan Lippo Group yang sedang bermasalah di PN Jakpus. Dalam bukti yang dikantongi KPK, Nurhadi disebut dengan sandi 'promotor'.

"Bahwa saya disebut promotor itu salah sama sekali, itu tidak benar, saya tidak tahu disebut nama itu, sementara saya tidak kenal Hesti. Itu kepada siapa, promotor? Saya merasa bahwa saya sudah dikondisikan, difitnah luar biasa," kata Nurhadi.


Dalam persidangan, sebagai saksi, Nurhadi menunggu di ruang majelis hakim, tidak menunggu di ruang bangku pengujung sidang layaknya saksi pada umumnya. Nurhadi hadir dari pintu yang sama yang dipakai hakim datang.

7 September 2016
Edy didakwa menerima suap secara berulang. Dia didakwa telah beberapa kali menerima suap berjumlah total sekitar Rp2,3 miliar. Penyerahan uang kepada Edy disebut dilakukan empat kali, yakni uang senilai Rp 1,5 miliar, Rp100 juta, USD 50 ribu atau sekitar Rp 658 juta serta Rp 50 juta.

Suap tersebut diberikan oleh Doddy Ariyanto Supeno dan Agustriadhy atas arahan dari pegawai PT PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti Susetyowati, Presiden Direktur PT Paramount Enterprise Ervan Adi Nugroho, Hery Soegiarto dan Eddy Sindoro.

Tujuannya, agar Edy Nasution melakukan pengurusan beberapa perkara yang sedang dihadapi dihadapi Doddy Ariyanto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

14 September 2016
Doddy divonis empat tahun karena terbukti menyuap Edy. Doddy terbukti memberikan uang Rp 100 juta dan Rp 50 juta kepada Edy Nasution. Uang tersebut untuk pengurusan sejumlah perkara di PN Jakpus.

8 Desember 2016
Edy divonis 5 ,5 tahun penjara dan dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta.

Akhir Desember 2016
KPK menetapkan mantan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro, sebagai tersangka. Eddy diduga terlibat dalam perkara suap kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Setelah itu, Eddy berulang kali dipanggil KPK tetapi selalu mangkir.

16 Agustus 2017
MA memperberat hukuman Edy. Duduk sebagai ketua majelis Artidjo Alkostar dengan anggota MS Lumme dan Prof Abdul Latief. Majelis sepakat memperberat hukuman sebagaimana dakwaan jaksa KPK.

Dalam pertimbanyannya, MA juga mengabulkan dakwaan uang suap Rp 1,5 miliar dari bos Paramount Enterprise yang merupakan anak perusahaan dalam lingkup Lippo Group, Eddy Sindoro. Kesalahan Edy yaitu:

1. Edy terbukti menerima suap Rp 100 juta terkait penundaan teguran perkara niaga PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) melawan Kymco melalui PN Jakarta Pusat.

2. Edy terbukti menerima uang sebesar USD 50 ribu ditambah Rp 50 juta untuk pengurusan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) meski sudah melewati batas waktu.

3. Di kasasi, Edy terbukti menerima suap Rp 1,5 miliar dari Bos Paramount Enterprise, Eddy Sundoro.

3. Edy terbukti menerima gratifikasi yang tak sesuai dengan tugasnya di PN Jakpus sebesar USD 70 ribu, SGD 9.852, dan Rp 10.350.000. (asp/dha)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads