Persenjataan Rusia di Balik Operasi Pembebasan Papua

Persenjataan Rusia di Balik Operasi Pembebasan Papua

Sudrajat - detikNews
Kamis, 24 Agu 2017 08:37 WIB
Foto: Mindra Purnomo
Jakarta - Dalam upaya mengusir Belanda dari bumi Papua (Irian Barat), Indonesia membeli banyak persenjataan dari Uni Soviet (Rusia). Sebelum Operasi Mandala dilakukan pada Juni 1962, Menteri Luar Negeri Soebandrio, yang fasih berbahasa Rusia, terbang ke Moskow untuk meminta dukungan Perdana Menteri Soviet Nikita Khrushchev.

"Saya bertanya kepada Subandrio, 'Seberapa besar kemungkinan kesepakatan (dengan Belanda) bisa tercapai'," tulis Khruschev dalam memoarnya yang dikutip Russia Beyond The Headlines edisi 23 Januari 2017. Subandrio menjawab, "Tidak terlalu besar."

Jika Belanda tidak bisa bersikap rasional dan memilih terlibat dalam operasi militer, tulis Khruschev, ini akan menjadi perang yang, pada batas tertentu, bisa berfungsi sebagai medan pembuktian bagi pilot-pilot Soviet yang menerbangkan pesawat tempur yang dilengkapi dengan rudal. "Kita akan melihat bagaimana rudal kami bekerja."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk diketahui, selain memasok satu kapal penjelajah, 14 kapal perusak, delapan kapal patroli antikapal selam, 20 kapal rudal, beberapa kapal torpedo bermotor dan kapal meriam, serta kendaraan-kendaraan lapis baja dan amfibi, dan helikopter, Soviet juga mengirimkan pesawat tempur MiG-19 dan MiG-17, serta 24 pengebom Tupolev (Tu)-16. Pesawat Tu-16 amat ditakuti Barat karena kecanggihannya di masa itu dan mampu melumat kapal induk Karel Doorman―senjata utama Belanda yang telah lego jangkar di perairan Biak.

Mengetahui kekuatan tempur sedahsyat itu, Belanda pun jiper dan akhirnya memerintahkan Karel Doorman meninggalkan Papua. Pada 1 Mei 1963, setelah melewati serangkaian perundingan nan alot, Belanda bersedia menyerahkan Papua ke pangkuan NKRI, dan kemudian menjadi provisi ke-26. Meski begitu, perjuangan diplomatik dan militer masih berliku.

Tapi pasca meletusnya Gerakan 30 September 1965, dan Jenderal Soeharto berkuasa persenjataan buatan Rusia tak lagi dilirik. Sebagai gantinya, Amerika Serikat kemudian menjadi kiblat, selain Inggris yang mewakili Eropa. Pesawat-pesawat tempur jenis Mig hingga Tupolev dibiarkan tanpa regenerasi.

Sekitar tiga dekade kemudian, tepatnya pasca insiden Santa Cruz di Timor Timur, Amerika Serikat mulai mengusik Soeharto lewat isu hak asasi manusia. Isu ini kemudian berujung embargo persenjataan kepada ABRI (TNI) sejak 1995. Akhirnya, Soeharto pun kembali menoleh sahabat lama; Rusia. Ia berupaya merekatkan kembali hubungan yang renggang dengan Rusia dengan menemui Mikail Gorbachev di Moskow pada 7-12 September 1989.

Dua tahun kemudian, Soeharto menyatakan minatnya untuk membeli Sukhoi sebanyak 12 buah. Sayang, krisis moneter dunia ikut menghantam perekonomian Indonesia. Rencana itu pun batal.

Pengadaan Sukhoi terwujudkan pada 2003 oleh Presiden Megawati lewat skema imbal dagang. Penggantinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melanjutkan kebijakan pengadaan Sukhoi tersebut. Juga oleh Joko Widodo.

Dengan dalih kesinambungan perawatan dan kenyamanan pada sistem persenjataan, Kementerian Pertahanan menolak tawaran F-16 Viper yang diajukan Lockheed Martin pada awal Oktober 2015.

"Plan kita sudah Sukhoi karena sejumlah alasan, antara lain kesinambungan pemeliharaan," kata Marsekal Pertama Dwi Badarmanto yang saat itu menjabat sebagai juru bicara TNI AU. (jat/elz)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads