Berjejal Barang-barang Malaysia Masuk Indonesia via PLBN Entikong

Tapal Batas

Berjejal Barang-barang Malaysia Masuk Indonesia via PLBN Entikong

Danu Damarjati - detikNews
Rabu, 23 Agu 2017 11:48 WIB
Barang-barang Malaysia yang hendak masuk ke Indonesia di Entikong. Foto: Rachman Haryanto/detikcom
Entikong - Berbagai barang asal Malaysia memenuhi mobil-mobil di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu Entikong, beranda terdepan Indonesia di hadapan Negeri Jiran. Di bawah terik mentari, mobil-mobil ini mengantre masuk lewat pemeriksaan Indonesia.

Berpuluh-puluh mobil berderet dari arah pintu masuk sampai depan loket. Tak ada satupun dari mobil-mobil itu yang lowong, semuanya memuat barang-barang yang dibeli dari Malaysia. Banyak yang memuat barang dengan cara yang bikin geleng-geleng kepala. Mereka menjejalkan semua barang itu sampai ruang mobil benar-benar sumpek, hanya menyisakan kursi sopir yang juga terimpit.


Kadang barang-barang belian itu dihamburkan begitu saja di aspal untuk diperiksa petugas Bea dan Cukai berseragam biru tua. Setelah dibongkar dan selesai diperiksa, barang-barang itu dijejalkan kembali ke dalam mobil untuk dibawa masuk lebih dalam ke teritorial Indonesia. Barangnya macam-macam, ada beras, gula, telur, bawang, sayur, dan makanan ringan dalam kemasan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Anehnya, tak ada satupun kendaraan yang khusus untuk memuat barang. Tak ada truk, mobil boks, atau pikap. Yang mereka gunakan untuk memuat barang-barang itu adalah mobil-mobil pribadi berupa kendaraan multiguna (MPV) atau bahkan sedan, paling mentok ada mobil kabin ganda dilengkapi bak yang tak terlalu mendominasi jumlah antrean.

Mobil WNI yang belanja di Malaysia dan membawa barang belanjaannya masuk ke Indonesia.Mobil WNI yang belanja di Malaysia dan membawa barang belanjaannya masuk ke Indonesia. Foto: Rachman Haryanto/detikcom

Anda bisa menemui pemandangan ini di pintu pemeriksaan Bea dan Cukai PLBN Terpadu Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat, sebagaimana detikcom melihatnya pada Sabtu (15/8/2017).

Tak jauh dari antrean itu, ada Ruang Tunggu KILB, isinya adalah puluhan hingga seratusan orang, terdiri dari pria-pria dewasa, ibu-ibu, dan beberapa orang membawa serta anaknya. Mereka menunggu di bangku di atas trotoar beratapkan seng, sembari menatap ke arah mobil-mobil yang baru saja tiba dari Malaysia itu.


KILB adalah singkatan dari Kartu Identitas Lintas Batas, surat yang dimiliki penduduk Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia, dalam hal ini warga Kecamatan Entikong dan Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau. KILB ini adalah surat yang membuat penduduk perbatasan bisa berbelanja membeli barang-barang di Malaysia dan membawanya ke Indonesia.

Ada batas belanja maksimal yang termuat di KILB, yakni mereka tak boleh berbelanja melebihi nilai 600 Ringgit Malaysia dalam sebulan. Bila 1 Ringgit senilai Rp 3.115,00, maka 600 Ringgit setara dengan Rp 1.870.000,00.


Orang-orang yang menjejalkan barang

Seorang pemuda terlihat duduk di pinggir bagasi belakang Toyota Kijang merah yang terbuka. Dia menduduki empat karung bawang putih. Satu karung berisi 20 kg bawang putih. Ada pula gula dua karung.

"Ini bukan saya yang punya. Dua orang yang punya. Orang yang punya surat sedang menunggu di sana," kata pemuda itu, namanya Robi Kurnia (20), warga Entikong.


Robi yang berkaus dan bertopi hitam itu menjelaskan bahwa barang-barang ini milik orang lain yang menyewa jasanya. Robi dan seorang pria pembawa mobil ini hanyalah tukang ojek yang disewa untuk menjemput barang di Inland Port (terminal barang) kawasan Tebedu, Sarawak, Malaysia, sekitar 15 menit saja dari PLBN Entikong.

Ngalor-ngidul berbicara, terungkap bahwa Robi adalah anak kuliahan. Dia ini mahasiswa semester enam Teknologi Budidaya Pertanian, Politeknik Negeri Pontianak. Saat ini dia sedang libur semesteran dan memanfaatkan waktu dengan ngojek.

"Kalau libur, saya balik dari Pontianak ke Entikong, ikut kerja. Ini barang juga tinggal ngambil di Inland Port," kata Robi.

Robi.Robi. Foto: Danu Damarjati/detikcom

Saya berjalan menyusuri antrean, melangkahi berbal-bal makanan ringan dalam kemasan yang sengaja dihamburkan di celah antrean. Di balik pintu mobil ada sopir ojek bernama Sutik Effendy (42). Dia dibayar Rp 150 ribu untuk menjemput barang di Inland Port Tebedu Malaysia. Mengantre pemeriksaan barang seperti ini sudah bukan barang baru baginya, meski pria asal Madiun Jawa Timur ini baru ngojek pada awal 2017 kemarin.

"Antre begini kadang-kadang sampai jam lima sore. Saya ini sudah dari jam sembilan pagi tadi," kata Sutik saat diwawancarai pukul 13.00 WIB. Mobilnya dipenuhi barang-barang seperti bawang, sosis, kentang, dan wortel.


Tak jauh dari mobil Sutik, ada mobil sedan warna krem yang dipenuhi berbal-bal makanan ringan kemasan. Di balik kaca depan sedan tanpa pendingin udara ini, seorang pemuda sedang makan nasi bungkus. Pintu mobil itu dibuka untuk sedikit mengusir gerah yang rasa-rasanya mustahil diusir siang ini.

Pemuda yang sedang menikmati makan siang di tengah antrean mobil itu bernama Hermansyah (21). Di balik punggungnya, muatan barang dari Malaysia tumpang-tindih. Titik paling aman yakni di atas jok ditempati oleh bertumpuk-tumpuk telur. Dari lantai sampai langit-langit sedan ini dijejali makanan ringan. Bahkan di atas atap mobil masih ada lima bal makanan ringan.

Hermansyah makan di mobilnya.Hermansyah makan di mobilnya. Foto: Danu Damarjati/detikcom

"Ini ada dua KILB yang kami bawa untuk belanja. Yang punya KILB ada di sana," kata Hermansyah sambil menunjuk ke arah Ruang Tunggu KILB. Dia bukan tukang ojek, melainkan masyarakat yang langsung berbelanja di Tebedu Malaysia dari KILB yang berada di tangannya. Barang-barang ini sebagian akan digunakan untuk kebutuhan rumah, dan sebagian lagi akan diserahkan ke orang yang menitip belanja ke Hermansyah.

"Ini ada kerupuk (makanan ringan dalam kemasan), carrot (wortel), telur, beras," kata Hermansyah.


Dua KILB masing-masing 600 Ringgit habis dibelanjakannya dalam sehari di Pasar Baru dan pertokoan di Tebedu. Di dalam mobilnya ada 10 karung beras masing-masing 10 kg. Kata dia, ini adalah jumlah maksimal beras yang bisa dibeli dari Malaysia. Aturan ini diterapkan oleh pihak Bea dan Cukai di PLBN Entikong.

Orang mengangkut barang menggunakan mobilnya.Orang mengangkut barang menggunakan mobilnya. Foto: Rachman Haryanto/detikcom

Kenapa sih kok beli beras yang dijual di Malaysia? Kok nggak di Indonesia saja?

"Orang kita suka macam itu (beras yang dijual di Malaysia). Entahlah, orang merasa beda rasa atau bagaimana. Yang jelas harganya lebih murah. Tak tahu lah ini bisa lebih murah Malaysia daripada Indonesia," tuturnya sambil bersandar di mobilnya, meninggalkan seorang kawannya di dalam mobil.

"Coba kalau mahal (barang-barang yang dijual di Malaysia), mustahil kita belanja barang Malaysia, pasti kita utamakan produk kita sendiri lah," imbuhnya dengan logat Melayu yang kental.


Di antara mobil-mobil bernomor polisi Indonesia, ada sedan berpelat Malaysia. Warnanya hitam biru bermerek Proton. Kondisinya benar-benar sumpek oleh barang-barang belian dari Malaysia, paling banyak adalah makanan ringan kemasan. Sebagian barang kulakan ini sengaja ditumpahkan terlebih dahulu ke aspal supaya mudah diperiksa petugas Bea Cukai. Pengemudinya adalah pria berbaju seragam sepakbola warna merah-hitam, nama pria ini Rofik (39).

Mobil Rofik.Mobil Rofik. Foto: Danu Damarjati/detikcom

Bila diamati, bagasi sudah penuh, jok belakang penuh, dan jok depan juga penuh kecuali menyisakan ruang untuk Rofik seorang. Namun kondisi ini tak menyulitkannya untuk mengemudikan mobil. Rofik memuat barang-barang ini sendirian.

"Biasa. Saya sendirian yang ke sana (Tebedu)," katanya. Logat Jawa terdengar saat dia berbicara dengan petugas yang memastikan barang belian ini tak melebihi kuota KILB.


Ada dua KILB yang digunakannya untuk berbelanja, satu miliknya sendiri dan satu lagi milik saudaranya. Barang yang dia beli dari Malaysia terdiri dari bawang lima karung, makanan ringan enam bal, telur lima ikat, gula dua karung, dan makanan ringan semacam kue ada satu bal.

"Ini mau saya jual di rumah dan di Pasar Entikong, sama dipakai sendiri," kata Rofik. Kenapa tidak kulakan di Indonesia saja?

"Waduh, Indonesia mahal, Pak. Jauh bedanya," ujarnya.

Barang-barang yang dibawa Rofik di mobilnya.Barang-barang yang dibawa Rofik di mobilnya. Foto: Danu Damarjati/detikcom

Apa yang sebenarnya terjadi?
Yang sebenarnya terjadi, warga-warga perbatasan pemilik jatah belanja 600 Ringgit per bulan dari KILB tak menggunakan haknya secara langsung, melainkan mereka menyewakan hak belanjanya ke tauke/toke alias majikan. Para tauke inilah yang sebenarnya berbelanja untuk kemudian dijual kembali ke pedagang-pedagang di Entikong.

Para pemilik KILB mendapatkan upah rata-rata Rp 100 ribu dari tauke yang membeli 'kupon belanja' 600 Ringgit itu. Orang-orang yang mengantre sambil membawa belanjaan tadi memang kebanyakan bukan pemilik KILB, namun mereka adalah sopir ojek barang dan sopir para tauke. Ada pula di antara para pengantre itu adalah pemilik KILB yang asli sekaligus memegang KILB orang lain yang menitip belanja.


Para pemilik KILB yang menjual hak belanjanya ke tauke biasanya berkumpul di Ruang Tunggu KILB, mereka menunggu sopir yang membawa KILB-nya selesai antre diperiksa usai berbelanja di Malaysia. Saya menyambangi Ruang Tunggu KILB itu.

"Saya nunggu barang, beli barang kerupuk (makanan ringan kemasan). Orang banyak juga yang menunggu," kata Amat (45) dari Desa Balai Karangan, Kecamatan Sekayam. Dia menunggu bersama delapan orang koleganya yang sama-sama menjual hak belanja KILB ke tauke.

Ruang tunggu KILB.Ruang tunggu KILB. Foto: Rachman Haryanto/detikcom

Duduk tak jauh dari Amat, ada Ahmad (46) yang juga sama-sama menunggu. "Kami ini yang punya KILB, tapi dibawa toke. Kita ke sini sebulan sekali. Sama toke dikasih Rp 100 ribu untuk menunggu begini. Barang yang dibelanjakan adalah kepunyaan toke dari Balai Karangan, orang-orang bisnis gitu, nggak tahu lah, Pak. Kami cuma dibawa," tutur Ahmad.

Mereka memilih tidak membeli barang sendiri dan menjual sendiri barang kulakan dari Malaysia, karena mereka bukan 'orang bisnis' yang mengakrabi jaring-jaring berdagang. Rata-rata penduduk perbatasan pemilik KILB bermata pencaharian berladang dan petani. Aktivitas menjual hak belanja KILB seperti ini diniatkan sekadar untuk mengisi waktu luang sebulan sekali.


Duit Rp 100 ribu dari tauke juga tak bisa dibilang banyak. "Ah, buat belanja-belanja. Cepat habis lah. Satu jam-pun kadang nggak sampai. Ini saja sudah jajan anak berap. Ini Cuma buat rame-rame (kumpul-kumpul)," kata Mariam Kartini (38), ibu dua anak penduduk perbatasan.

Mariam.Mariam memegang KILB. Foto: Danu Damarjati/detikcom

Dia menjelaskan, upah Rp 100 ribu bisa diterima para pemilik KILB karena biasanya penduduk di sini membandingkan dengan upah harian di perkebunan sawit yang hanya sekitar Rp 70 ribu. Mereka pikir, tak apalah dapat Rp 100 ribu sembari duduk-duduk sebentar di PLBN sembari bercengkrama dengan sesama penduduk perbatasan.

"Yus, jam berapa kami pulang, Yus? Jangan kau nyuruh aku pulang magrib, Yus!" mendadak Mariam berteriak kepada sopir yang dipekerjakan taukenya.


Namun dia lantas berpikir, sebenarnya aneh juga upah Rp 100 ribu ini. KILB dengan jatah 600 Ringgit itu sama dengan Rp 1.870.000,00. Tentunya keuntungan tauke juga banyak. Dia kemudian merasa upah Rp 100 ribu ini tak adil, meskipun mengungkapkan kekecewaannya ini dengan senyum-senyum saja. Belum lama ini Mariam dan kawan-kawan pernah protes ke tauke mereka agar upah dinaikkan.

"Ah, mau minta lebih saja malah diturunkan. Beberapa bulan, kami dikasih Rp 75 ribu. Kami akhirnya protes, kalau cuma Rp 75 ribu maka kami nggak akan menyewakan KILB lagi deh. Kemudian, oke, dikasih Rp 100 ribu. Tapi kami tidak dikasih makan. Oke lah, kami bawa bekal sendiri dari rumah," tutur perempuan peranakan Jawa-Dayak ini.

Mariam dan Taukenya.Mariam dan Taukenya. Foto: Danu Damarjati/detikcom

Tak lama kemudian, Mariam datang menjemput KILB-nya. Ternyata taukenya menunggu di dekat mobil karena juga ikut berbelanja di Tebedu Malaysia tadi. Tauke itu adalah perempuan bertopi bundar merah jambu, Aminah namanya. Aminah menuturkan upah Rp 100 ribu bagi pemilik KILB yang itu sudah cukup.

"Ya nggak apa-apa. Daripada yang kemarin, KILB-nya dipakai, nggak dikasih uang. Kan kasihan mereka," ujar Aminah.


Penjelasan dari Bea Cukai

KILB adalah pelengkap dari Pas Lintas Batas (PLB), dokumen pengganti paspor khusus untuk masyarakat perbatasan. Hak-hak tradisional masyarakat perbatasan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari diakomodir negara lewat jatah belanja KILB itu. Belanjaan maksimal 600 Ringgit itu tak akan dikenai pajak, karena dihitung sebagai barang pribadi hak masyarakat perbatasan.

Ini sesuai dengan Border Trade Agreement (BTA) Indonesia-Malaysia Tahun 1970 dan juga Peraturan Menteri Keuangan 89/PMK.04/2007. "Kami layani di sini dan bebas biaya," kata Kepala Sub Seksi Penindakan Bea Cukai PLBN Entikong, Raditya Ishak, kepada detikcom di PLBN Entikong, tak jauh dari antrean barang-barang KILB.

Untuk memastikan bahwa mereka tidak berbelanja melebihi kuota, pihak KPBC Entikong mengembangkan Sistem Informasi Kartu Identitas Lintas Batas (Siska). Kepala Sub Seksi Hanggar Pabean Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPBC) Entikong, Heru Hartanto, menjelaskan teknologi ini diterapkan di PLBN Entikong dan di banyak perbatasan negara di Indonesia. Jenis barang dan nilainya bakal tercatat secara sistematis di sistem ini.

Antrean mobil yang membawa barang.Antrean mobil yang membawa barang. Foto: Rachman Haryanto/detikcom

Ada barang-barang yang tak boleh dibawa masuk melebihi jumlah tertentu, misalnya garam tak diizinkan masuk meski yang membawa adalah warga perbatasan. Gula, per 1 Maret, diterapkan aturan hanya boleh membawa maksimal satu karung gula berbobot 50 kg per bulan per KILB. Barang masuk juga tak boleh dibawa menggunakan truk, melainkan hanya boleh memakai kendaraan pribadi. Soalnya PLBN Entikong belum punya terminal barang internasional seperti Inland Port yang dimiliki Malaysia di Tebedu, PLBN Entikong juga belum mendapatkan kode pelabuhan (port code) sehingga belum bisa berfungsi sebagai pelabuhan ekspor-impor.


Lalu bagaimana dengan aktivitas masyarakat yang menitipkan KILB kepada tauke untuk dibelanjakan di Malaysia? "Tidak bisa. Jadi petugas kami melakukan pemeriksaan barang, pemilik KILB-nya harus hadir. Itu adalah sebagai bkti kalau orangnya memang hadir dan tidak diwakilkan," tutur Raditya Ishak.

Bisa menunggu seharian agar barang diperiksa.Bisa menunggu seharian agar barang diperiksa. Foto: Rachman Haryanto/detikcom

Nyatanya, banyak pemilik KILB tidak ikut berbelanja ke Malaysia dan hanya duduk di Ruang Tunggu KILB saja. Begitu ada pemeriksaan KILB, mereka datang ke petugas. Ini dilakukan Mariam dan taukenya, Aminah. Menurut Ishak, orang-orang yang ada di Ruang Tunggu KILB adalah masyarakat perbatasan yang telah selesai berbelanja di Malaysia dan menunggu barangnya diperiksa petugas.

"Itu adalah masyarakat perbatasan yang selesai berbelanja di Malaysia," kata Ishak.

Namun pada dasarnya titip barang memanfaatkan hak belanja pemilik KILB tidak boleh dilakukan. "Titip barang tidak ada, Mas. Di sini mulai 19 September 2016, setiap pemilik KILB harus hadir. Tidak ada lagi titip-titip barang ke pedagang. Petugas di sini melakukan verifikasi," kata Heru Hartanto, tak jauh dari antrean mobil dan Ruang Tungg KILB.
Halaman 2 dari 3
(dnu/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads