Sepeda tersebut didapatkan oleh Istri Kapolri, Tri Suswati. Tri menerima hadiah sepeda dari Presiden karena pakaian adat Papua yang dikenakannya pada upacara 17 Agustus 2017 dianggap sebagai salah satu yang terbaik di antara para peserta upacara. Sepeda itu diberikan seusai upacara dan langsung dituntun oleh Tri Suswati.
Kemudian Tito memutuskan untuk menaruh sepeda itu ke museum. Ada dua alasan yang melatarbelakanginya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian yang kedua otomatis untuk menghindarkan dugaan gratifikasi, karena biasanya Bapak Presiden ngasihnya kepada anak sekolah dan anak pesantren sehabis berdialog. Itu nggak ada potensi pidana, tapi kalau seandainya diberikan kepada istri Kapolri," sambungnya.
Berikut aturan mengenai gratifikasi yang diikuti oleh Tito tersebut:
A. DEFINISI DAN DASAR HUKUM
Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pengecualian:
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan yang Mengatur Gratifikasi
Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK
Penjelasan Aturan Hukum
Pasal 12 UU No. 20/2001:
Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar:
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Sanksi
Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
B. WAJIB LAPOR
Penyelenggara Negara Yang Wajib Melaporkan Gratifikasi yaitu:
Berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, Bab II pasal 2, meliputi :
Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara.
Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
Menteri
Gubernur
Hakim
Pejabat Negara Lainnya :
Duta Besar
Wakil Gubernur
Bupati / Walikota dan Wakilnya
Pejabat lainnya yang memiliki fungsi strategis :
Komisaris, Direksi, dan Pejabat Struktural pada BUMN dan BUMD
Pimpinan Bank Indonesia.
Pimpinan Perguruan Tinggi.
Pimpinan Eselon Satu dan Pejabat lainnya yang disamakan pada lingkungan Sipil dan Militer.
Jaksa
Penyidik.
Panitera Pengadilan.
Pimpinan Proyek atau Bendaharawan Proyek.
Pegawai Negeri
Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan No. 20 tahun 2001 meliputi :
Pegawai pada : MA, MK
Pegawai pada L Kementrian/Departemen &LPND
Pegawai pada Kejagung
Pegawai pada Bank Indonesia
Pimpinan dan Pegawai pada Sekretariat MPR/DPR/DPD/DPRD Propinsi/Dati II
Pegawai pada Perguruan Tinggi
Pegawai pada Komisi atau Badan yang dibentuk berdasarkan UU, Keppres maupun PP
Pimpinan dan pegawai pada Sekr. Presiden, Sekr. Wk. Presiden, Sekkab dan Sekmil
Pegawai pada BUMN dan BUMD
Pegawai pada Badan Peradilan
Anggota TNI dan POLRI serta Pegawai Sipil dilingkungan TNI dan POLRI
Pimpinan dan Pegawai dilingkungan Pemda Dati I dan Dati II
Pengendalian Gratifikasi Mandiri
Setiap pejabat publik juga diminta untuk membuat sistem pengendalian gratifikasi. Jadi, pengendalian gratifikasi tidak hanya dilakukan oleh KPK.
VIII.PEJABAT PUBLIK DAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI
Peraturan KPK Nomor 02 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaporan dan Penetapan Status
Gratifikasi selain mengatur kewajiban pegawai negeri dan penyelenggara Negara juga
memasukan unsur Pejabat Publik sebagai subjek hukum yang diharapkan berperan dalam
menjalankan sistem pengendalian gratifikasi.
Pada Pasal 1 angka 7, Pejabat Publik didefinisikan meliputi:
a. setiap orang yang menjalankan jabatan legislatif, yudikatif atau eksekutif yang
ditunjuk atau dipilih secara tetap atau sementara, dibayar atau tidak dibayar;
b. setiap orang yang menjalankan fungsi publik dan menduduki jabatan tertentu pada
suatu badan publik atau perusahaan publik atau suatu korporasi yang melakukan
pelayanan publik; atau
c. setiap orang yang ditetapkan sebagai pejabat publik dalam peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Landasan diaturnya definisi dan ruang lingkup Pejabat Publik pada Peraturan KPK didasarkan
pada ketentuan dalam United Nation Convention Against Corruption, 2003 (UNCAC, 2003)
yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
United Nation Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Anti Korupsi, 2003). Semangat terpenting perlunya pejabat publik dijangkau dalam konsep
pengendalian gratifikasi berangkat dari kesadaran bahwa subjek hukum penerima gratifikasi
saat ini bukan hanya pegawai negeri dan penyelenggara negara, melainkan dapat juga orangorang
yang secara formil tidak termasuk kualifikasi pegawai negeri atau penyelenggara
negara akan tetapi menjalankan fungsi publik, baik di sebuah badan publik ataupun korporasi
yang melakukan pelayanan publik. Hal ini perlu diatur karena perbuatan dari orang yang
menjalankan fungsi publik akan berakibat pada publik atau masyarakat yang dilayaninya.
Mempertimbangkan akibat buruk gratifikasi yang dapat mempengaruhi pelaksanaan tugas
penerima gratifikasi, terutama jika dilihat dari aspek objektifitas dan pengaruh dari adanya
vested interest pada penerima, maka sudah sepatutnya pejabat publik juga diatur sebagai
subjek hukum terkait pengendalian gratifikasi ini.
Mengacu pada UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, defenisi pelayanan
publik adalah: "kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik". Fungsi pelayanan publik ini tidak hanya dilakukan oleh
pemerintah ataupun lembaga-lembaga negara, namun juga dijalankan oleh korporasi,
lembaga independen ataupun badan hukum lainnya yang dibentuk semata-mata untuk
pelayanan publik. Lembaga tersebut dapat bergerak di bidang pendidikan, kesehatan,
transportasi, perairan dan sejenisnya.
Seperti diungkapkan di atas, konsep inti dari pejabat publik ini selain mencakup pada orangorang
yang bekerja di lembaga-lembaga pemerintahan juga meliputi orang yang menjalankan
fungsi publik dan menduduki jabatan tertentu pada badan publik. Contoh-contoh badan publik
tersebut diantaranya badan hukum yang mendapatkan bantuan dari keuangan
negara/keuangan daerah, partai politik, organisasi keagamaan seperti Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan lainnya.
Pedoman Pengendalian Gratifikasi 38
Terkait dengan penerapan sistem pengendalian gratifikasi, Peraturan KPK 02/2014 ini diatur
pada Pasal 15, yaitu:
(1) Instansi Pejabat Publik selain Penyelenggara Negara dan Pegawai Negeri dapat
membentuk Unit Pengendali Gratifikasi di lingkungan kerja masing-masing.
(2) Unit Pengendali Gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja dengan
berpedoman pada Peraturan ini.
Mencermati ketentuan Pasal 15 di atas, untuk memaksimalkan upaya pencegahan tindak
pidana korupsi, khususnya aspek pengendalian gratifikasi, instansi Pejabat Publik dapat
membentuk Unit Pengendali Gratifikasi yang juga diikuti dengan pengaturan lebih lanjut di
lingkungan Instansi Pejabat Publik tersebut. (fjp/fjp)











































