Perkara tersebut akhirnya dimenangi pihak PT ADI, sebagai tergugat. Perusahaan ini lolos dari kewajiban membayar denda USD 7,6 juta dan SGD 130 ribu. Dalam perkara itu, Tarmizi duduk sebagai panitera pengganti PN Jaksel, sedangkan ketua majelis dijabat oleh Djoko Indiarto, dengan anggota Agus Widodo dan Sudjarwanto.
Namun belum diketahui apakah putusan ini kebetulan semata atau majelis hakim dipengaruhi dalam jual-beli pengurusan perkara yang melibatkan Tarmizi. Hanya, pimpinan KPK mengisyaratkan tidak menutup kemungkinan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, pimpinan KPK lainnya memastikan lembaga antirasuah ini akan menelusuri pihak-pihak terkait kasus suap tersebut. Termasuk peran masing-masing dalam penanganan perkara.
"Nanti kita pelajari sejauh apa, seseorang berbuat apa, dan apa peran serta pihak terkait, penyidik akan mendalaminya," tutur Wakil Ketua KPK Saut Situmorang saat dihubungi terpisah.
Kasus ini berawal dari gugatan perdata yang dilayangkan Eastern Jason Fabrication Service (EFJS) Pte Ltd kepada PT Aquamarine Divindo Inspection (ADI) terkait wanprestasi kontrak. PT ADI melanggar tenggat pelaksanaan proyek sehingga EFJS Pte Ltd mengalami kerugian.
Pengacara PT ADI, Akhmad Zaini, pun main mata dengan panitera pengganti PN Jaksel Tarmizi agar gugatan itu ditolak. Supaya tak terdeteksi KPK, mereka berkomunikasi dengan sandi 'sapi' untuk uang ratusan juta rupiah dan 'kambing' untuk uang puluhan juta rupiah.
Tarmizi kemudian menerima suap Rp 425 juta agar dapat mengurus perkara itu. Tarmizi dan Akhmad lalu ditangkap KPK pada Senin (21/8) dan ditetapkan sebagai tersangka. Disusul kemudian Direktur Utama PT ADI Yunus Nafik, setelah KPK mengembangkan penyidikan dan melakukan penggeledahan. Ia ditetapkan sebagai tersangka ketiga yang berperan sebagai pemberi suap. (nif/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini