OTT Panitera PN Jaksel, Ahli: Reformasi Pengadilan Tidak Berhasil

OTT Panitera PN Jaksel, Ahli: Reformasi Pengadilan Tidak Berhasil

Rivki - detikNews
Selasa, 22 Agu 2017 10:36 WIB
Gedung MA di Jalan Medan Merdeka Utara (ari/detikcom)
Jakarta - KPK kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap panitera PN Jaksel. Hal itu menunjukan bukti reformasi pengadilan tidak berhasil.

"Tertangkapnya panitera pengganti PN Jaksel merupakan indikator dari tidak berhasilnya reformasi hukum, khususnya penegakan hukum di pengadilan secara umum," kata ahli pidana Abdul Fickar Hadjar kepada detikcom, Selasa (21/8/2017).

"Ini terjadi karena program-program reformasi hukum hanya dilaksanakan sebagai performa, kamulfase, pura-pura-pura, atau seolah-olah saja. Reformasi hukum hanya menyentuh kulit-kulit dan permukaannya lebih banyak selebrasinya saja. Sedangkan substansi, mental dan budaya hukum aparaturnya tidak tersentuh sama sekali," sambung pengajar Universitas Trisakti itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk meyakinkan tesisnya, Fickar menantang masyarakat mencoba berurusan dengan pengadilan, atau proses hukum. Ia memastikan 'kebiasaan' itu masih ada, bedanya kini dilakukan secara sopan.

"Seolah-olah kesepakatan tahu sama tahu, antara pengadilan dan stake holdernya (para pihak atau para pengacara)," cetus Fickar.

Fickar mencontohkan kasus perdata di pengadilan. Pemilihan hakim yang akan mengadili perkara perdata menjadi lubang korupsi konvensional. Bahkan hingga waktu pemberitahuan putusan pengadilan pun menjadi komoditi.

"Demikian halnya dalam perkara-perkara pidana. Sejak tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan melekat kewenangan-kewenangan yang seringkali ditempatkan sebagai komoditi," tutur Fickar.

Alhasil, rumor di masyarakat pun tercipta yaitu 'lapor hilang kambing malah hilang kerbau', 'Hubungi Aku Kalau Ingin Menang (Hakim), 'Maju Tak Gentar Membela yang Bayar' dan sebagainya.

"Intinya dunia peradilan tidak terhindarkan menjadi dunia bisnis, dunia industri. Jangan coba-coba berperkara kalau tidak punya bekal materi yang cukup, jika tidak ingin bangkrut," kata Fickar.

Situasi ini menjadi tanggung jawab bersama stake holder peradilan. Reformasi hukum harus menyentuh mental para aparaturnya. Sanksi yang tegas harus menjadi kesepakatan semua pihak bagi para pelanggarnya.

"Di samping itu harus ada upaya upaya mengefektifkan lembaga lembaga pengawasan, seperti Komisi Yudisial, Kompolnas, Komisi Kejaksaan, agar tidak hanya menjadi pemadam kebakaran saja jika terjadi kasus korupsi oleh aparatur terkait," terang Fickar.

Tidak hanya di wilayah pengadilan, tetapi juga lembaga yang memiliki kewenangan layaknya pengadilan, seperti KPPU dan Bawaslu.

"Di mana ada kekuasaan di situ cenderung ada korupsi dan sekecil apa pun kekuasaan tanpa lembaga pengawasan yang efektif akan menjadi ladang korupsi," pungkas Fickar. (asp/rvk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads