Soedjatmoko lahir di Sawahlunto pada 10 Januari 1922. Dia merupakan anak kedua dari 4 bersaudara yaitu Siti Wahyunah Sjahrir (istri Sutan Syahrir) Soedjatmoko, Prof. Miriam Budiardjo (pakar politik UI), dan Nugroho Wisnumurti (anggota Komisi Hukum Internasional PBB).
Bung Koko, begitu sapaan akrabnya, semula menimba ilmu di sekolah kedokteran di Jakarta. Namun saat Indonesia dikuasai Jepang pada 1943, Koko dikeluarkan dari sekolah itu karena memberontak untuk melakukan seikerei (membungkuk hormat) pada kaisar Jepang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kariernya di bidang jurnalistik harus berhenti pada 1947-1950. Sjahrir yang menjabat sebagai Perdana Menteri memintanya untuk menjadi delegasi Indonesia sebagai pengamat di PBB. Koko juga mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di di Harvard's Littauer School of Public Administration.
Namun pendidikan Koko di Harvard juga tidak berlangsung lama. Dia kesulitan karena harus mengurusi kedutaan Indonesia di Washington sekaligus menjadi delegasi Indonesia untuk PBB.
Akhirnya dia memutuskan kembali ke Indonesia pada 1952 dan mendirikan penerbitan buku yang diberi nama Pembangunan. Koko juga bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada 1955. Partai tersebut dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada 1960 karena sejumlah tokoh PSI terlibat dalam pemberontakan PRRI/ Permesta.
Dalam sejumlah literasi, momen yang memberikan dampak dalam hidup Soedjatmoko ketika sahabat sekaligus mentornya, Sutan Sjahrir meninggal dunia. Begitupun dengan peristiwa Gerakan 30 September yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (G30 S PKI) yang menjadi 'pukulan' baginya.
Usai mengalami momen itu, Soedjatmoko kembali berkiprah dalam hubungan luar negeri. Dia kembali bergabung menjadi wakil ketua delegasi Indonesia untuk PBB pada 1966. Kemudian pada 1968 hingga 1971 Soedjatmoko menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Ia juga menjadi penasehat pribadi Menteri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik mulai 1967 sampai 1977.
Hingga akhirnya ia ditunjuk oleh Sekjen PBB untuk menjadi rektor Universitas PBB di Jepang pada 1987. Soedjatmoko menggantikan James M Hester yang menjadi rektor pertama di universitas itu. Ia juga sering diundang menjadi dosen tamu di beberapa universitas.
Pada 21 Desember 1989, Soedjatmoko menghembuskan napas terakhir akibat serangan jantung saat mengisi kuliah di Universitas Islam Muhammadiyah, Yogyakarta. Kabar duka itu turut diwartakan media internasional New York Times.
Peninggalan Soedjatmokok yang menjadi sumbangsih dan kontribusi bagi Indonesia dapat terlihat dari karya yang diterbitkan seperti
The Re-Emergence of Southeast Asia: An Indonesian Perspective (1969), Development and Freedom (1980), dan The Primacy of Freedom in Development (1985).
Ia juga menulis beberapa buku seperti Asia di Mata Soedjatmoko, Menjadi Bangsa Terdidik menurut Soedjatmoko, Cendekiawan di Negara Berkembang. Selain itu, Soedjatmiko juga menerima beberapa gelar doktor kehormatan yakni dari Universitas Cedar Crest, AS (1969), Universitas Yale, AS (1970) dan Universitas Kenegaraan Malaysia (1980).
Dalam beberapa tulisan, seperti dikutip detikcom dari laman resmi Universitas Gadjah Mada (UGM), Soedjatmoko menuliskan sumbangan utama cendekiawan dapat dirumuskan dalam tiga hal yakni mengubah persepsi bangsa dalam menghadapi berbagai persoalan, mengubah kemampuan bangsa menanggapi masalah baru, dan mengubah aturan main dalam pergulatan politik.
Selain itu, menurut Soedjatmoko, posisi cendekiawan dalam politik juga harus berada di luar pemerintahan dan di luar keterliibatan politik langsung. Hal itu untuk menjaga keseimbangan antara kekuasaan negara dan masyarakat sipil. (nkn/fdn)