Deputi Sekjen Fitra Apung Widadi menjelaskan saat wacana tersebut kembali dibahas. Seharusnya DPR terlebih dahulu memperbaiki kinerjanya. Setelah itu, barulah coba-coba meminta dibangunkan gedung baru.
"Iya, kalau kerjanya benar dan perencanaan anggarannya tidak digelembungkan, transparan, dan akuntabel, tidak masalah. Tapi image mafia anggaran dari tahun 2010 kan yang membuat rakyat tidak ikhlas menyetujui sepeser pun untuk DPR yang tidak memperjuangkan rakyat, justru jauh dari harapan rakyat," tutur Apung saat dihubungi detikcom, Selasa (15/8/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apung lantas membandingkan rencana pembangunan gedung DPR dengan gedung baru KPK yang diresmikan akhir tahun lalu. Rakyat tak menolak karena menilai KPK memang perlu dan tak ada indikasi penggelembungan anggaran dalam pembangunannya.
"Saya mencontohkan, gedung KPK itu nggak ditolak rakyat, kenapa? Karena memang butuh, hanya 200 M. Tidak digelembungkan dalam perencanaan mencapai triliunan. DPR dalam perencanaan anggaran ngaca deh sama KPK. Malu," tutur Apung.
"Fitra melihat kasus ini jelas menyiratkan perencanaan anggaran di DPR masih berbasis proyek. Bukan berbasis kinerja. Nampaknya ini cerminan mentalitas dalam mengelola uang rakyat," jelasnya.
Baca juga: Gedung DPR Miring |
Sebelumnya diberitakan, DPR mengusulkan anggaran 2018 sebesar Rp 5,7 triliun. Anggaran tersebut digunakan untuk memperbaiki gedung DPR yang telah miring, yaitu gedung Nusantara I.
Isu ini pernah merebak pada 2010. Waktu itu, sempat tercetus ide mendirikan bangunan anyar menggantikan gedung Nusantara I, yang memiliki 24 lantai.
Wacana tersebut pada akhirnya kandas karena derasnya arus penolakan publik. Kemudian, pada 2015, wacana ini muncul lagi ke permukaan dalam rangka 7 proyek penataan kawasan parlemen.
![]() |
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini