Suara Guru di Pelosok tentang Sekolah 8 Jam

Tapal Batas

Suara Guru di Pelosok tentang Sekolah 8 Jam

Danu Damarjati - detikNews
Jumat, 11 Agu 2017 10:32 WIB
Siswa di SMAN Erambu. (Hasan Al Habshy/detikcom)
Jakarta - Kebijakan sekolah delapan jam tengah menjadi perbincangan serius. Ini perkara membentuk karakter generasi muda. Lupakanlah sejenak hiruk-pikuk politik di Ibu Kota, dengarkan suara-suara para guru di pelosok perbatasan negara.

Kebijakan ini direncanakan bakal berlaku untuk semua sekolah di seluruh Indonesia, baik di pusat-pusat kota maupun di sudut-sudut terpencil dari Sabang sampai Merauke. Suara-suara tidak setuju memang telah bermunculan, beragam kekhawatiran dikeluhkan.

Anak-anak sekolah bakal bersekolah selama lima hari dalam sepekan dan delapan jam per hari. Karena saking panjangnya jam belajar siswa yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah itu, masyarakat awam menyebutnya sebagai 'full day school', istilah yang berkali-kali dibantah pihak pemerintah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejurus dengan protes-protes terhadap kebijakan itu, Presiden Joko Widodo (Widodo) kemudian membuat Peraturan Presiden (Perpres) tentang Program Pendidikan Karakter. Perpres itu bakal menggantikan Permendikbud yang kontroversial itu.

Isi Perpres belum terungkap ke muka publik. Sembari menunggu isi Perpres itu, barangkali suara-suara para guru di pelosok perbatasan negara bisa didengarkan.

'Kasihan anak-anak'

Dari Merauke, bukan di kota, tapi Distrik Sota, ada Kepala SMP Negeri Erambu bernama Budi Setyo Wahono yang sudah merasakan sendiri bagaimana kondisi pendidikan di kawasan terdepan. Saat detikcom mengunjungi SMP ini pada 13 Mei lalu, anak-anak sekolah bahkan sudah pulang meski belum tengah hari.

"Saya sudah sekian tahun di daerah pinggiran, baik di Mapi ataupun utamanya di Erambu ini. Anak-anak kalau sudah siang itu banyak yang mengeluh lapar," kata Budi kepada detikcom, Kamis (10/8/2017).


Pria 52 tahun asal Sidoarjo ini bisa memaklumi bila murid-muridnya selalu pulang lebih awal. Bulan ini, dana asrama yang berasal dari APBD sudah mulai bisa digunakan untuk menginapkan siswa yang hendak menghuni, meski sebagian orang tua murid ada yang keberatan. Budi membeli kasur dan bantal asrama. Soal makanan untuk murid, SMPN Erambu kini sudah bisa memberikannya secara gratis.

"Hanya yang pulang saya kasih makan satu kali saja. Yang tinggal di asrama makan ya tiga kali," kata Budi.

Asrama siswa di Erambu.Asrama siswa di Erambu. (Danu Damarjati/detikcom)

Tak semua sekolah punya asrama seperti di SMPN Erambu. Ada sekolah-sekolah yang jauh lebih memprihatinkan ketimbang ini. Bahkan untuk operasional asrama SMPN Erambu, Budi agak deg-degan, karena dana yang mengucur sering kali tak tepat waktu. Ini terjadi di sekolah-sekolah di Merauke yang sudah menerapkan pola asrama lebih dulu.

"Model pola asrama di Merauke ini kan bulan Januari tidak bisa cair tepat saat tempo. Kadang-kadang kan menunggu penetapan anggaran di bulan April. Itu yang repotnya di situ. Kalau kesulitan dana, kadang-kadang orang tua murid yang harus antar makanan ke asrama," kata Budi.

Meski sudah punya asrama, Budi merasa kebijakan delapan jam sekolah belum bisa diterapkan di Papua. Masalahnya bukan sekadar asrama, melainkan lebih kompleks daripada itu. Orang tua murid yang membutuhkan bantuan anak-anaknya sepulang dari sekolah untuk mencari makan tentu juga harus dipertimbangkan. Kesiapan tenaga pengajar dalam mendidik anak selama delapan jam perlu dimatangkan.

"Kalau di Papua saya rasa belum siap (menerapkan kebijakan delapan jam pelajaran sehari untuk lima hari sekolah)," kata Budi.

Sarana dan prasarana yang berkaitan dengan sekolahan masih perlu ditingkatkan sebelum kebijakan itu diterapkan. Dan penting pula asupan nutrisi untuk para murid karena tak semua sekolah di sini memberikan makan gratis.

"Hanya saya lihat kasihan anak-anak Papua. Kebanyakan anak-anak Papua itu kan nggak mungkin orang tuanya mau antar makan atau apa. Kalau anak sekolah sampai sore, masalah makanan ini menjadi repot," kata Budi.


Para murid harus bantu orang tua sepulang sekolah

Ada pula Resvi Dora'. Guru muda ini baru selesai mengajar di SMPN Erambu sebagai tenaga Sarjana Mendidik di Daerah Terluar (SM3T). Anak Toraja lulusan Universitas Negeri Makassar ini mengatakan penerapan lima hari sekolah dan delapan jam belajar setiap hari bakal sulit. Dia telah merasakan sendiri bagaimana perjuangan mendidik anak-anak pelosok.

"Kalau di pelosok, agak susah ya," kata Evi, panggilan Resvi, sambil tersenyum menanggapi kebijakan itu.

Pertama, anak-anak di pelosok biasanya bermasalah dengan asupan makanan. Secara biologis, konsentrasi manusia perlu didukung oleh nutrisi yang cukup. Ini yang membuat anak-anak di pojok Merauke mengeluh saat siang hari menjelang. Tak hanya sesimpel urusan perut, kendala lain menyangkut kelangsungan hidup keluarga tiap siswa.

"Sepulang sekolah, mereka harus membantu orang tua di kebun, bahkan biasa minta izin nggak masuk sekolah beberapa hari karena harus berhutan bersama orang tua," kata Evi.

Evi dan David Kabujay.Evi dan David Kabujay. (Danu Damarjati/detikcom)

Dia menilai belajar dalam artian kaku, yakni berada di sekolah, belum menjadi prioritas anak-anak di Erambu. Mereka lebih banyak belajar dari alam. Salah satu muridnya, David Kabujay, adalah contoh kecil dari banyak muridnya yang setiap hari 'melebur' dengan alam, membantu orang tua berburu sepulang dari sekolah, dan harus bangun pagi hari keesokan harinya.


Meski begitu, bila segala sarana dan prasarana sudah memadai, bukan tidak mungkin sekolah delapan jam bisa diwujudkan. Soal pendidikan karakter yang jadi tujuan kebijakan itu, kegiatan tambahan yang relevan dengan dunia murid daerah bisa diefektifkan.

"Untuk menekankan pendidikan karakter pada siswa, kegiatan ekstrakurikuler perlu diperbanyak. Siswaku antusias banget kalau lagi ekstrakurikuler Pramuka," kata Evi.

Di kawasan tapal batas yang lain, yakni di Belu Nusa Tenggara Timur, ada guru SM3T bernama Dhani Kurniawan. Pria 25 tahun sarjana pendidikan sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini mengungkapkan hal serupa dengan Evi. Para murid harus membantu orang tua selepas pulang sekolah.

"Biasanya anak-anak di sini bantu orang tua ke kebun," kata Dhani, yang bertugas di SMA Gabriel Manek SVD, Lahurus, Desa Fatulotu, Kecamatan Lasiolat.


Menurutnya, kebijakan lima hari sekolah masing-masing selama delapan jam belajar akan sulit ditempatkan di pelosok-pelosok, seperti sekitar kawasan tempat dia mengajar. Kebijakan seperti itu hanya cocok diterapkan untuk murid-murid yang orang tuanya bekerja sesuai jam kantor, seperti di perkotaan. Orang tua yang pulang kerja juga bakal berbarengan dengan murid yang pulang sekolah. Namun untuk kawasan-kawasan yang masyarakatnya bukan bermata pencarian sebagai pekerja kantoran, kebijakan itu bakal menemui kesulitan.

"Kebijakan itu seperti mengikuti pola jam kantor masyarakat industri. Tapi seperti di tempat kami bertugas, itu agak repot," ujar Dhani.

Dia menyarankan agar kebijakan pemerintah pusat lebih aspiratif dan memperhatikan kondisi riil masyarakat setempat. Apalagi untuk Indonesia, kondisi daerah satu dan yang lain bisa sangat berbeda seturut keragaman sosio-ekonomi, budaya, dan kondisi sarana serta prasarana yang mendukung. Bahkan problem kekurangan tenaga guru juga masih banyak dialami sekolah pelosok.

"Menurutku, program itu agak susah kalau dipukul rata. Mungkin daerah-daerah tertentu bisa pas, tapi didaerah-daerah lainnya kurang pas juga," ujarnya.

Dhani Kurniawa (kanan).Dhani Kurniawan (kanan). (Danu Damarjati/detikcom)

Sehari-hari di sekolah yang terletak 40 km dari sabana Fulan Fehan ini, para murid masuk kelas pukul 07.00 Wita sampai 12.45 Wita. Rata-rata murid berjalan kaki ke sekolah, menanjak dan menuruni medan tak rata, tak jarang kaki harus berkotor-kotor dengan lumpur lengket. Pernah di suatu pagi pukul enam saat Dhani pulang menginap dari rumah koleganya, dia mendapati satu muridnya sudah ada di perjalanan menuju sekolah dengan berjalan kaki.

"Entah mereka sarapan atau tidak. Kalau diterapkan jam pelajaran sampai sore, siang bisa makan atau tidak juga belum tahu. Bisa dibayangkan jam satu siang ke atas entah pikiran mereka sudah ke mana," tutur Dhani.


Pemerintah harus lebih aspiratif

Dhani merasa kebijakan yang diketok pemerintah pusat sering tak memperhatikan kondisi di pelosok. Kebijakan yang 'top-down' seperti itu membuat kelimpungan orang-orang daerah yang harus mengikuti keputusan kota.

"Harusnya lebih aspiratif, dan lebih ada kerangka jangka panjang juga, soalnya problem pendidikan kita itu ganti menteri ganti program," kritiknya.

Soal penguatan pendidikan karakter, hal itu bisa dilakukan dengan mempertimbangkan latar belakang murid dan sumber daya yang ada. Tak ada satu eliksir, alias obat serbaguna yang mampu menyembuhkan segala keluhan. Juga tak ada satu strategi absolut yang mampu menyelesaikan bermacam-macam problem. Yang ada hanyalah kebijakan sesuai konteks dan sejarah, termasuk kebijakan pendidikan yang perlu memperhatikan keunikan masing-masing daerah seturut ruang dan waktu yang berlaku.

"Jadi ya agak susah kalau harus membuat rumusan yang bisa dipakai secara universal," kata Dhani.

Bergeser ke Kalimantan Barat, tepatnya di kawasan tapal batas Indonesia-Malaysia. Ada desa di Entikong bernama Suruh Tembawang yang sampai saat ini belum mudah dijangkau kota. Di sini berdiri bangunan sederhana, SD Negeri 05 Suruh Tembawang.

Pak Guru bernama Djumadi sadar betul kondisi pendidikan di sini yang bakal tertatih-tatih bila dipaksa mengikuti kebijakan delapan jam sekolah tiap lima hari. "Kami sangat tidak menerima kalau di sini, karena di sini kondisinya berbeda dengan di kota," tegas Djumadi.

Lagi-lagi, masalah perut ikut menjadi pertimbangan. Selama ini belum ada jatah makan gratis yang sampai ke murid-muridnya. Dia tak bisa membayangkan apabila anak-anak yang lapar dipaksa terus belajar sampai pukul tiga sore.

"Kalau dipaksakan, bisa kena mag karena kelaparan," kata guru untuk kelas enam ini.

"Kasihan anak-anak nanti," imbuhnya.

Bukan hanya itu, kondisi sarana dan prasarana juga perlu diperhatikan. Di sini, meja dan kursi saja masih kurang. Jangan tanya soal pengajaran teknologi informasi, soal listrik saja masih menjadi masalah di sini. Setrum Perusahaan Listrik Negara (PLN) belum sampai di Suruh Tembawang.

"Yang harusnya diperhatikan adalah sarana dan prasarananya," kata Djumadi menyampaikan aspirasi.

Rata-rata yang dikhawatirkan oleh para pengajar di pelosok adalah soal sarana dan prasarana, ketersediaan makan untuk para murid, dan aktivitas murid sepulang sekolah yang berpotensi terganggu, misalnya membantu orang tua sepulang sekolah. Di luar yang dikeluhkan para guru di atas, ada pula kekhawatiran yang telah diungkapkan para pemerhati masalah ini, sekolah delapan jam itu dinilai bisa menghilangkan relasi sosial anak-anak dengan masyarakatnya, hingga kekhawatiran terciptanya generasi radikal-intoleran.


Perihal Sekolah Delapan Jam

Kebijakan sekolah lima hari dengan alokasi delapan jam tiap harinya itu diberlakukan dalam rangka penguatan pendidikan karakter (PPK). Dalam modul 'Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter tingkat SD dan SMP' yang diterbitkan Kemendikbud, dijelaskan pendidikan karakter adalah bagian dari revolusi mental yang sesuai dengan Nawacita.

Karakter yang ingin dikejar adalah empat nilai utama, yakni religius-nasionalis, mandiri, gotong-royong, dan berintegritas. Praksis dari ide ini adalah alokasi jam belajar murid dalam konsep 'Hari Sekolah' itu.

Delapan jam belajar bukan hanya diisi dengan kegiatan di dalam kelas. Delapan jam itu diisi dengan kegiatan pemenuhan kurikulum lewat belajar di kelas (intrakurikuler) tentunya, ditambah kegiatan pendalaman mata pelajaran kurikulum (kokurikuler), plus kegiatan pengembangan potensi, bakat, dan minat murid di luar pelajaran kelas (ekstrakurikuler).

Sebagaimana yang disampaikan Kemendikbud dalam situs resmi 'Cerdas Berkarakter', pemerintah menargetkan 1.626 sekolah yang akan menjadi rintisan penguatan pendidikan karakter pada 2017. Pada 2016, sudah ada 542 sekolah (SD dan SMP) yang menjadi sekolah percontohan penerapan penguatan pendidikan karakter.

Bagaimana dengan pemenuhan sumber daya meliputi sarana, prasarana, hingga dana makan murid-murid? Bagaimana bila sekolahan tidak siap? Pemerintah tak akan memaksakan konsep 'Hari Sekolah' ini, penerapannya akan dilakukan bertahap sesuai kemampuan masing-masing.

Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah sebenarnya sudah mengatur, tepatnya di Pasal 8, 9, dan 10 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8

Penetapan Hari Sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mulai dilaksanakan pada tahun pelajaran 2017/2018.

Pasal 9

(1) Dalam hal kesiapan sumber daya pada sekolah dan akses transportasi belum memadai, pelaksanaan ketentuan Hari Sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat dilakukan secara bertahap.

(2) Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya wajib menjamin pemenuhan sumber daya pada sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah, dan ketersediaan akses transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam penerapan ketentuan tentang Hari Sekolah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.

(3) Masyarakat penyelenggara pendidikan wajib menjamin pemenuhan sumber daya pada sekolah yang diselenggarakannya untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.

(4) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sesuai kewenangannya melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap pemenuhan sumber daya dan ketersediaan akses transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dalam penerapan ketentuan Hari Sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.

Pasal 10

(1) Guru pada sekolah yang belum dapat melaksanakan ketentuan Hari Sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tetap melaksanakanketentuan 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu untuk memenuhi beban kerja guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).

(2) Peserta didik pada sekolah yang belum dapat melaksanakan ketentuan Hari Sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tetap melaksanakan ketentuan jam sekolah sesuai dengan beban belajar pada kurikulum dan dapat melaksanakan kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler.
Halaman 2 dari 3
(dnu/tor)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads