"Hampir setiap hari saya menerima keluhan, ada desa dana desa belum cair. Bupati terpilih seperti tak mau tanda tangan karena tak didukung saat pilkada," kata Sindawa saat berbincang dengan detikcom, Selasa (8/8/2017).
Alasan bupati, dia melanjutkan, macam-macam. Ada yang pura-pura sibuk atau lupa. Dia berharap ada pengawasan, baik dari polisi, jaksa, maupun pejabat terkait, agar dana desa tak dipolitisasi.
"Jadi saya berharap dana desa ini jangan dipolitisir," kata pria yang akrab disapa Bung ST itu.
Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam penelitiannya menemukan ada kecenderungan elite lokal memainkan dana desa. Ini terjadi lantaran aparat desa minim pengetahuan dalam hal pengelolaan anggaran.
"Jika pemerintah desa tidak memiliki pemahaman mengenai pengelolaan anggaran yang baik, maka akan rawan dikooptasi oleh elite lokal yang sarat dengan kepentingan pribadi," kata Koordinator Divisi Investigasi ICW Febri Hendri saat dihubungi terpisah.
Hasil penelitian ICW pada 2016 menunjukkan terjadi perluasan kasus korupsi seiring dengan naiknya jumlah anggaran dana desa yang dikucurkan pemerintah. Ada 62 kasus korupsi yang terjadi di pemerintah desa dengan melibatkan 61 kepala desa atau aparat. Total kerugian negara mencapai Rp 10,4 miliar.
Modus yang dilakukan kepala desa atau aparatnya pun beragam, mulai penggelapan hingga suap. Modus yang paling banyak dilakukan adalah penggelapan dengan 20 kasus dan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 6,2 miliar.
Menurut Febri, adanya modus penggelapan dalam pengelolaan dana desa menandakan ada campur tangan elite politik lokal. Keterbatasan kepala desa dalam mengelola anggaran menjadi pintu masuk elite lokal ikut menyusun anggaran desa untuk kepentingan pribadi. (erd/idh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini