Perjuangan Bertaruh Nyawa Siswa di Kolaka Utara Menuntut Ilmu

Perjuangan Bertaruh Nyawa Siswa di Kolaka Utara Menuntut Ilmu

Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews
Selasa, 08 Agu 2017 06:35 WIB
Foto: (kodam.hasanuddin/Instagram)
Jakarta - Rupanya di era serba digital saat ini, masih ada anak sekolah yang penuh perjuangan untuk menuntut ilmu. Salah satunya adalah para siswa di Desa Maroko, Kecamatan Ranteangin, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara.

Setiap harinya para siswa di desa itu harus menyeberangi sungai yang lebarnya 60 meter untuk ke sekolah. Cuaca adalah faktor penentu lama atau tidaknya mereka sampai ke sekolah.

Adalah petugas Babinsa TNI berpangkat Sersan Kepala (Serka), Darwis, yang ikut membantu para siswa menyeberangi sungai. Dia telah mengabdikan diri dengan tugas itu sejak pertengahan tahun 2012.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jika cuacanya bagus, maka anak SD bisa dibantu dengan seniornya yang SMP atau SMA untuk sama-sama menyeberang, tetapi jika tidak bagus maka saya harus membantu langsung. Jika saya sedang berada dinas luar, saya sudah berkoordinasi dengan gurunya karena tidak boleh menyeberang sendiri," tutur Darwis saat berbincang dengan detikcom, Senin (7/8/2017).

Alat yang digunakan Darwis sebetulnya sederhana, konsepnya mirip dengan kereta gantung. Hanya saja yang digunakan ini adalah papan dan digantungkan pada tali. Nyawa jadi taruhannya jika tidak hati-hati.

Hal yang membuat siswa di Desa Maroko harus berjuang seperti itu adalah karena tak ada sekolah di desanya. Sekolah-sekolah mulai dari SD sampai SMA ada di desa tetangga yakni Desa Tino Kari, Kecamatan Wawo.

Tali yang dipakai untuk menggantung papan itu diikatkan pada akar pohon. Tali itu menghubungkan Desa Maroko dengan Desa Tino Kari.

"Talinya itu didapatkan karena swadaya dari masyarakat setempat," ungkapnya.

Jarak tempuh untuk menuju SD dan SMP sekitar kurang dari 3 kilometer. Sedangkan untuk SMA/sederajat bahkan mencapai 6 kilometer.

Penduduk di Desa Maroko setidaknya ada 40 KK. Bisa dibayangkan berapa lama waktu yang mereka perlukan untuk bergantian naik papan penyeberang di pagi hari dan sepulang sekolah.

Sebenarnya kedalaman sungai saat cuaca cerah hanya sekitar 2 meter, namun tetap saja dalam untuk ukuran anak seumuran siswa SD. Jika hujan turun, kedalaman sungai bisa mencapai 6 hingga 7 meter.

Kondisi ini mengingatkan kita dengan jembatan 'Indiana Jones' di Pandeglang, Banten, tahun 2014. Waktu itu para siswa pun harus bergantian menyeberangi sungai dengan jembatan yang sudah rusak.

Kemudian ada lagi warga di Desa Plempungan, Karanganyar, yang naik jembatan 'tipis' untuk menuju Desa Suro, Boyolali, Jawa Tengah, pada tahun 2015. Lalu ada lagi pada tahun 2012 yakni di Desa Bunjamata, Kecamatan Pasangkayu, Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat, di mana warganya harus ekstra hati-hati menyeberangi jembatan bambu yang sudah putus talinya di satu sisi.

Sebetulnya pada tahun 2015, Kemdikbud sudah meluncurkan situs pengaduan terkait sarana-prasarana maupun akses ke sekolah. "Jangan bekali anak-anak yang ingin bersekolah dengan risiko tinggi. Masa depan yang cerah dari anak akan terhenti karena keselamatannya akan berisiko. Negara harus hadir dan negara harus menghilangkan risiko tersebut," ujar Mendikbud saat itu, Anies Baswedan, kepada wartawan di Kantor Kemendikbud, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat (13/3/2015).

Situs itu adalah sahabat.kemdikbud.go.id, namun hanya muncul sedikit tulisan saat detikcom mencoba mengunjunginya. "It works! This is the default web pages for this server. The web server software is running but no content has been added, yet," begitu tulisan yang muncul. (bag/aan)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads