"Tanggal 15 (Agustus) itu kan kita berharap dia pulang. Tapi kan ini ada haji akbar hari Jumat, jadi ada pertimbangannya," ujar salah satu tim hukum Habib Rizieq, Kapitra Ampera, kepada detikcom, Senin (7/8/2017).
Kapitra sebelumnya mengatakan Rizieq akan pulang pada 15 Agustus nanti untuk menghadiri milad FPI ke-19. Tapi rencana itu belum keputusan final.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Opsi lainnya, Rizieq pulang ke Indonesia sebelum pelaksanaan ibadah haji untuk menghadiri milad FPI dan kembali untuk melaksanakan ibadah haji.
"Opsinya pulang tanggal 15, kembali (ke Arab Saudi) tanggal 18 atau tanggal 20 (Agustus) untuk melaksanakan haji. Tapi karena ini haji akbar, terlalu padat, terpaksa pulangnya diundur. Haji dulu, baru pulang," lanjutnya.
Akan tetapi kepulangannya itu juga sangat tergantung proses hukum yang menjeratnya. "Tergantung proses di Indonesia, ini konsisten apa nggak. Ini kan tergantung itu," ujarnya.
Menurut Kapitra, kliennya bersedia pulang jika proses penegakan hukum sudah betul-betul clear. Pihaknya menilai proses hukum terhadap kliennya itu melanggar undang-undang.
"Tapi yang penting political will law enforcement dari pemerintah ini harus jelas. Law enforcement harus jelas. Bahwa ada undang-undang yang dilanggar dalam proses hukum ini, oleh keputusan MK, ini juga harus dicermati sebagai protect of human rights," sambungnya.
Menurutnya, barang bukti yang didapat polisi tidak sah secara hukum. Sebab, menurutnya, barang bukti yang diambil dari situs baladacibtarizieq.com itu pun diperoleh dari penyadapan secara ilegal.
"Lho karena kan polisi katakan itu dapat dari baladacintarizieq.com. Berarti kan itu institusi ilegal. Ini kan didapat bukan dari institusi formil. Institusi formil itu ya BIN, polisi, KPK gitu lho, yang diberikan kewenangan oleh undang-undang melakukan penyadapan dalam perkara tertentu," paparnya.
Karena itu, menurutnya, proses penegakan hukum terhadap Rizieq cacat hukum. Apalagi, lanjutnya, 'penyadapan' tersebut tidak termasuk kategori tindak pidana yang dilegalkan untuk dilakukan penyadapan.
"Yang berwenang saja tak boleh melakukan penyadapan atas perbuatan ini (dugaan pornografi), apalagi institusi yang tidak berwenang dan itu batal. Kalau sudah batal (demi hukum), semua produk dari institusi tidak berwenang itu harus batal demi hukum karena cacat hukum," pungkas Kapitra. (mei/idh)











































