"Angkutan umum ditinggalkan publik karena tidak ada kepastian pelayanan, ngetem terlalu lama, tanpa AC, banyak asap rokok, kriminal atau copet, keselamatan diabaikan, tidak terjadwal, tanpa manajemen transport dan sebagainya sehingga berangsur-angsur terminal akan sepi pula," ujar peneliti transportasi dari Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang.
Hal itu disampaikan Deddy dalam keterangan tertulis yang ditulis Jumat (28/7/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Foto: Rengga Sancaya |
"Sehingga kendaraan pribadi lebih banyak beredar di jalan sementara angkutan umum kian ditinggalkan sehingga terminal Blok M juga terimbas sepi. Mungkin juga terminal yang lain. Publik yang tidak menggunakan atau tidak punya kendaraan pribadi pun kini juga lebih memilih ojek online sebagai angkutan pilihan menuju tujuan langsung (angkutan paratransit) karena harga terjangkau dan waktu lebih cepat," papar anggota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini.
Tidak adanya sistem integrasi antar moda di terminal baik infrastruktur/fisik, single tariff, jadwal dan aplikasi IT, imbuhnya, membuat terminal berangsur ditinggalkan.
Deddy menambahkan, bila manajemen angkutan umum/terminal bus ini tidak segera disinkronisasi bisa diramalkan angkutan umum jalan lambat laun akan punah. Indikator ini bisa dilihat modal share angkutan umum tahun 2002 masih sekitar 38 % (Penelitian JUTPI 2010) kini 2016 pengguna angkutan umum hanya 16% (BPTJ).
"Kalau tidak segera direkayasa positif modal share publik transport ini akan semakin turun akibatnya jalan raya akan semakin macet karena jalan penuh kendaraan pribadi. Banyak teori mengatakan bila share transportasi publik mampu di atas 50 persen maka jalan raya akan semakin lancar karena kecepatan kendaraan akan lebih terjamin, 30-40 km per jam di kala peak hour," tandas dia. (nwk/hns)












































Foto: Rengga Sancaya