Namanya Melambung Seiring Aksi Bela Islam

Menakar Jenderal Gatot (2)

Namanya Melambung Seiring Aksi Bela Islam

Erwin Dariyanto, Aryo Bhawono - detikNews
Kamis, 27 Jul 2017 11:48 WIB
Namanya Melambung Seiring Aksi Bela Islam
Foto: Ari Saputra/detikcom
Jakarta - Melambungnya nama Jenderal Gatot Nurmantyo, menurut pengamat politik UI Arbi Sani, tak lepas dari rangkaian Aksi Bela Islam yang menuntut penuntasan kasus penistaan agama oleh Ahok sejak November 2016. Berbeda dengan para petinggi kepolisian yang cenderung melontarkan pernyataan-pernyataan kurang bersahabat, Gatot justru sebaliknya.

Dalam sebuah perbincangan di stasiun televisi swasta, kala itu dia menyatakan sengaja menurunkan prajurit TNI agar peserta aksi dapat menyalurkan aspirasi tanpa anarkis. Berkat sikapnya itu, kata Arbi, sosok Gatot dielukan oleh kelompok Islam yang menjadi ujung tombak aksi itu. "Namanya dipuji oleh kelompok ini dan dikatakan sebagai capres (calon presiden) ideal," ujar Arbi saat berbincang dengan detikcom, Rabu (26/7/2017).

Direktur Eksekutif Media Survei Nasional (Median) Rico Marbun sependapat dengan Arbi. Oleh sebagian kalangan umat Islam, Gatot dianggap sebagai salah satu tokoh yang berani tampil menyuarakan pembelaan atas dua tema yang penting dan sangat sensitif. "Dua tema itu adalah kesejahteraan dan kedaulatan ekonomi pribumi serta aspirasi politik nasionalis Islam," kata Rico.

Untuk tema kedaulatan ekonomi, Gatot pernah membacakan puisi karya Denny Januar Ali dengan judul 'Bukan Milik Kita'. "Kata-kata ini keras sekali menyindir segelintir orang yang dituding menguasai kekuatan ekonomi yang terlalu besar dan mendorong ketimpangan ekonomi yang makin dalam," kata Rico.

Bagi Arbi, pembacaan puisi seperti itu merupakan manuver lain dari Gatot. Disebut manuver politik jelas karena disampaikan dalam forum Rapimnas Partai Golkar di Novotel Hotel, Balikpapan, Kalimantan Timur, 22 Mei 2017. Ia menyebut langkah Gatot ini tak elok karena Gatot merupakan bagian dari pemerintah yang posisinya berada langsung di bawah presiden, selaku panglima tertinggi. "Harusnya otoktritik disampaikan internal," ujar Arbi.

Terkait dengan aspirasi politik nasionalis Islam, menurut Rico, Gatot secara terbuka menyatakan tersinggung bila aksi bela Islam dikatakan sebagai kudeta. Dua tema itu membuat Gatot memiliki citra positif di mata publik karena dua hal. Pertama, Gatot berani bersuara agak berbeda dengan mainstream penguasa saat ini, bahkan di tengah isu ancaman pemecatan yang kuat berembus.

Kedua, kata Rico, Gatot menjadi representasi militer yang saat ini memiliki citra positif. "Dan hawa politiknya bisa mengarah ke aliansi Islam nasionalis plus militer," ujarnya.

Kepala Pusat Studi Politik dan Pertahanan Universitas Padjadjaran Bandung Muradi mengatakan hadirnya Jenderal Gatot dalam kegiatan sejumlah ulama Islam bukan sebuah langkah yang sistematis.

"Itu semata-mata saya membacanya sebagai politik menunggangi momentum. Bukan betul-betul melakukan langkah-langkah sistematis," kata Muradi.

Dia juga menilai hubungan Gatot dengan elite-elite Islam tersebut tidak benar-benar strategis. "Justru untuk menjaga hubungan baik itu bagus dilakukan oleh teman-teman Polri," tutur Muradi. (erd/jat)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads