"(Sudah diketahui) oleh rektor. Karena rektor, saya minta tanggung jawab. Ini sudah saya sampaikan waktu di Jogja, Semarang, Medan, Makassar, selalu saya sampaikan. Ternyata mereka sudah punya data masing-masing," kata Nasir di kantornya, Jl Jenderal Sudirman Pintu I, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (26/7/2017).
Dia melanjutkan wujud pertanggungjawaban rektor yang bisa dilakukan ialah memproses dosen tersebut untuk memberikan sanksi administrasi. Namun, lanjutnya, harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nasir mengatakan, sebelum sanksi diberikan kepada dosen anggota HTI, dosen tersebut harus didekati dengan cara persuasif terlebih dahulu. Diajak untuk kembali ke UUD dan Pancasila. Namun, apabila ajakan itu tak direspons, sanksi akan diberikan.
"Dirangkul dulu. Nggak boleh kita langsung tendang. Tapi dia harus diperingatkan, ditegur supaya kembali ke UUD dan Pancasila," ujarnya.
Dosen yang bergabung dengan ormas yang berlawanan dengan Pancasila dan UUD 1945 juga harus mendapatkan sanksi. Sebab, menurutnya, hal itu melawan hukum yang berlaku.
"Kalau ada sebagian warga negara yang sebagai dosen, sebagai pegawai di Kemenristekdikti, dia tidak setia dan taat pada UUD, Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, ataupun 4 pilar kebangsaan, berarti mereka melawan hukum. Maka ada sanksi yang diberikan, namanya sanksi administrasi, kalau pada UU itu. Maka kalau kami lakukan pendekatan persuasif dulu," ujar Nasir.
Dalam kesempatan jumpa pers ini, Nasir tidak menyebutkan seberapa banyak dosen yang bergabung dengan HTI. Data tersebut, menurutnya, sudah ada di para rektor.
"Kalau listing-nya itu di para rektor sudah punya semua. Tadi kami tanya, berapa di perguruan tinggi, ada yang bilang satu, ada yang bilang dua, ada yang tiga. Artinya ada," ucap Nasir. (jbr/fjp)











































