"Dengan adanya makna baru pengertian organisasi profesi berdasarkan UU 20/2013, maka pengertian organisasi profesi berdasarkan UU 29/2004 harus dimaknai seperti rumusan dalam UU 20/2013 pasal 1 angka 20 yakni 'organisasi profesi adalah organisasi yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang diakui pemerintah'. Jadi Organisasi profesi tidak otomatis IDI seperti disebut dalam UU Praktik Kedokteran. Di sini ada pertentangan norma hukum pengertian organisasi profesi," ujar Taufiq dalam persidangan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (25/7/2017).
Menurut Taufiq, dalam UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Dokter, pengertian organisasi hanya secara eksplisit menyebutkan kompetensi tanpa kata pendidikan dan tanpa menyebut IDI. Dirinya menilai kalau makna norma hukum di dalam UU tersebut multi tafsir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Taufiq menilai di dalam UU Praktik Kedokteran juga telah dijelaskan peran dari Kolegium Dokter Indonesia (KDI) bagian pendidikan. Sedangkan IDI sendiri merupakan organisasi profesi dokter.
"Kolegium terkait erat dengan pendidikan profesi kedokteran, oleh karena itu masuk akal dan sesuai asas keilmuan apabila kolegium tidak dibentuk oleh organisasi profesi dalam pengertian IDI, seperti yang disebut dalam UU Praktik Kedokteran. Karena IDI bukan profesi kedokteran, apalagi pengertian organisasi profesi masih jauh dari kepastian hukum," pungkasnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, tiga dokter yakni Judilherry Justam, Nurdadi Saleh, dan Pradana Soewondo menggugat UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Dokter ke MK. Gugatan dilayangkan karena menilai adanya praktik monopoli yang dilakukan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam mengeluarkan sertifikasi profesi dokter.
Ketiga dokter itu lalu menguji ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 12, angka 13, serta Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 29 ayat (3) huruf d, dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran. Pemohon juga menguji ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Dokter.
Mereka memandang tidak perlu ada sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia (KDI) yang dibentuk IDI. Sebab, setiap lulusan Fakultas Kedokteran yang telah diuji kompetensi sesuai UU Pendidikan Kedokteran, mendapat sertifikat berupa ijazah dokter. Selain itu para pemohon juga meminta dipisahkan KDI dari IDI.
"Ini monopoli IDI di dunia pendidikan dan profesi," ujar pemohon Judilherry Justam usai persidangan. (edo/asp)