"Sejatinya polisi tidak ada alasan kekurangan personel. Tetapi karena mereka tidak mampu mengoptimalkan personel yang ada, sehingga kendalanya adalah tidak serius, kurang fokus, dan minim inovasi," ujar Ketua Presidium ITW Edison Siahaan kepada detikcom, Senin (24/7/2017).
Menurut Edison, peran serta masyarakat dalam mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas (Kamseltibcarlantas) diatur dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun perekrutan 'Pak Ogah' dinilai kurang tepat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wacana tersebut dianggap sebagai ketidaksiapan polisi dalam menghadapi situasi lalu lintas Jakarta yang sudah semrawut. "Rencana merekrut 'Pak Ogah' terkesan karena gugup menghadapi kondisi kemacetan yang sudah abnormal ini. Belum lagi soal dana yang akan digunakan akan menuai kecurigaan," tuturnya.
Idealnya, pengaturan lalu lintas di luar kepolisian harus datang sendiri dari masyarakat. Hal ini untuk menghindari adanya tindakan menyimpang jika 'Pak Ogah' dilibatkan dalam pengaturan lalu lintas.
"Idealnya, upaya itu harus datang dari masyarakat, Ditlantas hanya terlibat dalam memberikan pelatihan dan menyertakan mereka yang tetap di bawah koordinasi Kasat Lantas. Ditlantas jangan terlibat sampai pencarian dana untuk membiayai (Pak Ogah) sebab potensi terjadinya penyalahgunaan meskipun dana berasal dari CSR perusahaan," ucapnya.
Dikhawatirkan, jika 'Pak Ogah' dilibatkan dalam pengaturan, justru hal itu akan menimbulkan permasalahan baru. Ditambah lagi adanya stigma 'Pak Ogah' yang berorientasi mencari uang dari upaya mengatur lalu lintas.
"Bila tidak dibekali pengetahuan yang memadai soal lalu lintas, bisa menimbulkan permasalahan baru dan kemacetan, serta menimbulkan kecemasan masyarakat pengguna jalan. Mereka harus dari komunitas masyarakat yang memang peduli terhadap Kamseltibcarlantas, bukan yang justru menjadikan sebagai sumber pencaharian," tuturnya. (mei/ams)