"Itu dalih yang tidak tepat. Seharusnya proses dan mekanisme hukum pembubaran dilakukan sejak awal proses hukum dan dilakukan oleh lembaga yudikatif," ujar Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriani dalam acara media briefing di kantor KontraS, Jalan Kramat II, Jakarta Pusat, Senin (24/7/2017).
Yati menyebut proses di pengadilan seharusnya bukan disediakan saat ormas sudah dibubarkan, melainkan harus pada prosesnya. Hal itu karena terkait dengan prinsip due process of law dan asas presumption of innocence (praduga tak bersalah).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yati khawatir nantinya pemerintah akan menggunakan Perrpu ini untuk membungkam kelompok-kelompok yang kritis terhadap pemerintah. Ormas itu bisa berawal dari golongan mana pun.
"Bisa organisasi keagamaan, organisasi buruh, organisasi petani, dan organisasi lainnya bisa dibubarkan dengan menggunakan alasan-alasan yang karet itu. Sehingga ini bisa menjadi ancaman bagi demokrasi dan HAM," tuturnya.
Yati menilai pemerintah menggiring Indonesia kembali ke masa Orde Baru. Hal tersebut, kata Yati, merupakan sebuah kemunduran besar bagi bangsa.
"Ini merupakan langkah yang mundur ke belakang, karena hal itu sama dengan pembubaran ormas pada masa Orde Baru yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1985," tuturnya.
Yat berkeyakinan UU Ormas Nomor 17 Tahun 2013 telah cukup memfasilitasi keinginan pemerintah membubarkan satu ormas yang dianggap mengancam.
"Mekanisme pembubaran ormas juga sudah diatur dalam UU ini, itu ada di pasal 68 ayat 2. Jadi sebenarnya pemerintah tidak perlu mengeluarkan Perppu Ormas ini, cukup dengan UU yang lama," tuturnya. (hld/idh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini