Kasus bermula saat Anita didakwa melakukan kejahatan sesuai Pasal 137 huruf b UU Narkotika dan Pasal 5 ayat 1 j Pasal 10 UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tapi yang terbukti hanya dakwaan pencucian uang dan Anita divonis 10 bulan penjara pada 18 Juli 2016.
Merasa ada yang tak adil, Anita menggugat UU TPPU ke MK. Salah satunya ia menggugat Pasal 1 angka 5, yang berbunyi:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;
b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;
c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Menurut Anita, pasal di atas menjadi pasal karet karena tidak memberikan batasan minimal rekening yang bisa dikenakan UU TPPU.
"Hakikat dibentuknya UU TPPU adalah untuk menjaring para pelaku kejahatan, khususnya pelaku kejahatan kelas kakap, sehingga juga tentunya harus terdapat batasan nilai nominal tertentu dari suatu tindak pidana asal," ujar Anita yang memberikan kuasa hukum kepada IDCC & Associates sebagaimana dikutip dari laman website MK, Selasa (18/7/2017).
Menurut kubu Anita, uang receh tidak masuk akal untuk disamarkan. Umpamanya uang Rp 10 juta hasil kejahatan, apakah logis bila dicuci agar menjadi legal.
"Sehingga adalah patut dan wajar apabila dipertegas dalam bentuk minimal transaksi minimum untuk dapat dikategorikan 'transaksi yang mencurigakan' yakni Rp 500 juta," ujar Anita.
Sidang perdana rencananya akan digelar sore ini di MK. (asp/rvk)