Direktur Tindak Pidana Siber Brigjen Mohammad Fadil Imran yang memimpin Dirtipid Siber Bareskrim Polri ikut memantau langsung sidang putusan tersebut. Sidang dimulai sekitar pukul 12.30 WIB.
"Dengan ini sidang dimulai dan terbuka untuk umum," kata hakim tunggal praperadilan, Cepi Iskandar, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan, Senin (17/7/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fadil tidak mau berkomentar terkait kedatangannya ini. Ia menyarankan untuk langsung bertanya ke Humas Polri.
"Langsung ke Kadiv Humas saja ya," kata Fadil sebelum memasuki ruang sidang.
Seperti diketahui, Hary Tanoe menjadi tersangka karena SMS yang dikirim ke jaksa Yulianto disangkakan mengandung unsur ancaman. Polisi menjerat Hary Tanoe dengan Pasal 29 UU Nomor 11/2008 tentang ITE jo pasal 45B UU Nomor 19/2016 tentang Perubahan UU ITE Nomor 11/2008. Ancaman pidana penjaranya 4 tahun.
Atas dasar itu dia meminta status tersangkanya digugurkan melalui gugatan praperadilan. Kuasa hukum Hary, Munathsir Mustaman menilai penyidikan yang dilakukan Polri diduga menyalahi aturan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Munatsir menyebut proses penyidikan perkara kasus SMS ancaman menyalahi Pasal 109 KUHAP. Dalam pasal itu, menurut Munatsir, disebutkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) harus dikirim kepada terlapor dan pelapor dalam kurun waktu 7 hari. Namun kenyataannya, sambung Munatsir, SPDP baru dikirim 47 hari kemudian.
"Sebagaimana kita ketahui, penyidikan itu pada tanggal 4 Mei 2016, kemudian SPDP itu baru dilakukan pada pemohon sekitar tanggal 20 Juni 2017, jadi ada selang waktu 47 hari," kata Munatsir dalam sidang praperadilan, Senin (10/7). (fjp/fjp)











































