Tito mengatakan, aplikas Telegram tersebut memiliki beberapa keunggulan dari aplikas percakapan lainnya. Yang paling utama yakni percakapan di media itu tidak bisa disdap. Akibatnya, banyak yang memanfaatkan aplikasi ini untuk menyebarkan paham yang radikal yang tidak dideteksi oleh pihak keamanan.
"Mereka (teroris-red) semua berkomunikasi dengan Telegram, karena banyak fitur. Satu di-enkripsi, sehingga sulit untuk disadap. Dan kedua mampu menampung grup sampai 10 ribu, dan mampu menyebarkan paham-paham di sana," kata Tito saat ditemui usa acara peresmian Akademi Bela Negara (ABN) di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu (16/7/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akibatnya, kata Tito, banyak terjadi pendoktrinan melalui aplikasi Telegram tersebut, tanpa melakukan tatap muka. Penyebaran paham ini disebut Tito sebagai 'lone wolf radicalitation'.
"Akhirnya terjadilah sekarang fenomena yang disebut dengan lone wolf self radicalitation, yaitu radikalisasi melalui media online termasuk Telegram. Jadi tidak perlu ketemu-ketemu lagi," katanya.
Tito juga mengatakan, pemblokiran tersebut juga merupakan salah satu usulan dari Polri, yang berasal dari hasil analisa intelijen yang cukup lama. "Jadi sekarang ini ya perubahan dan kita sudah berkali-kali menyampaikan terorisme pada dasarnya ada dua macam, yang satu terstruktur, yang kedua tak terstruktur. Maka kita kekuatan intel yang jadi nomor 1, yaitu untuk memetakan struktur mereka sampai sedetil-detilnya, memonitor dan melakukan tindakan untuk mencegah atau kalau sudah terjadi bisa diungkap," katanya.
"Yang kedua, non struktur yang tadi disampaikan leaderless jihad, jihad tanpa pemimpin atau self radicalitation atau lone wolf," tambah mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ini.
(jor/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini