"Jangan lagi berdebat soal suku, agama, dan hal-hal yang sudah selesai 71 tahun lalu. Jangan gunakan Pancasila untuk membeda-bedakan," ujar Zulkifli dalam keterangan tertulis, Rabu (12/7/2017).
Hal ini disampaikan Zulkifli saat menyampaikan Pidato Pembukaan Simposium Ekonomi MPR dengan tema 'Sistem Pembangunan Nasional untuk Kesejahteraan Sosial' di gedung Nusantara V MPR, Senayan, Jakarta, hari ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mari melampaui perbedaan itu dengan bicara implementasi Pancasila untuk kesejahteraan. Itulah substansi Pancasila yang sampai sekarang belum terwujud," kata dia.
Ia mengingatkan ketika masyarakat ribut berdebat soal suku dan agama. Sumber daya dan kekayaan alam justru dikuasai asing.
"Faktanya, kita sibuk berpecah-belah tapi gagal. Kekayaan alam dijarah, sumber daya alam dikuasai asing, dan anak negeri tak dapat apa-apa," ucap Ketua Umum PAN ini.
Apresiasi Simposium
Zulkifli atas nama pimpinan dan anggota MPR sangat mengapresiasi pimpinan Lembaga Pengkajian MPR yang menginisiasi penyelenggaraan simposium. Zulkifli juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Wapres Jusuf Kalla karena sangat mengapresiasi dan menghadiri penyelenggaraan simposium.
"Penyelenggaraan simposium ini sangat luar biasa. Sungguh saya memandang temanya sangat penting sebab terkait dengan hajat hidup orang banyak dan kepentingan kita bersama seluruh bangsa dan negara Indonesia," katanya.
Diutarakan Zulkifli, sebagai rumah rakyat Indonesia, MPR sering didatangi berbagai elemen masyarakat yang mengungkapkan banyaknya ketimpangan kesejahteraan dan ketimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam. Semua itu fakta dan sangat nyata, terutama soal lahan.
Sebagai contoh, ada daerah yang wilayahnya sangat luas dengan kekayaan alam yang sangat besar, tapi tidak berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Sebab, lahan di daerah tersebut banyak dikuasai segelintir orang yang memiliki kekuatan finansial yang sangat besar. Oknum kepala daerah pun berperan dalam penguasaan lahan daerah kepada segelintir pihak tersebut.
"Semestinya lahan sebagian besar dikuasai rakyat yang dipergunakan untuk bidang perekonomian, seperti pertanian, perkebunan, dan peternakan. Jika terjadi kenaikan harga komoditi, maka rakyat akan terdampak langsung, kesejahteraan akan otomatis naik. Jika ini dibiarkan terus-menerus, maka bangsa ini patut bertanya di mana pasal 33 berada. Seperti itulah kebanyakan rakyat mengadu," ujarnya.
Inilah semestinya, lanjut Zulkifli, sistem ekonomi Pancasila berbicara dan terimplementasi. Zulkifli mengungkapkan, secara yuridis, konstitusional perihal perekonomian nasional sebenarnya sudah diatur secara tegas dalam konstitusi Indonesia, yakni di Pasal 33 UUD Tahun 1945, yang merupakan perwujudan dari sila kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia serta merupakan perwujudan dari Pembukaan UUD 1945.
Pasal tersebut dan Pembukaan UUD sangat jelas bunyinya, yakni semangat menuju kemakmuran bersama. Pada pasal 33 jelas mengatakan usaha disusun sebagai usaha bersama, gotong royong, dan kebersamaan. Demokrasi Pancasila seharusnya melahirkan keadilan dan kesejahteraan bersama.
"Patut digarisbawahi bahwa pembahasan soal kesenjangan ini bukan menyalahkan siapa-siapa, termasuk bukan pula menyalahkan pemerintahan sekarang. Masalah ini memang merupakan permasalahan lama dan sekarang menjadi masalah kita yang harus kita hadapi bersama," tuturnya.
Zulkifli berharap hasil simposium ini dapat menjadi bahan dan masukan MPR dalam melaksanakan tugas konstitusional sesuai dengan amanat Pasal 5 huruf c UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), yakni mengkaji sistem ketatanegaraan, konstitusi, dan pelaksanaannya. (nwy/ega)











































