Menurut Prasetyo, perusahaan Mobile-8 melakukan transaksi fiktif pada keuangan mereka. Mereka membuat seolah-olah mereka membayar pajak, namun ditarik kembali dalam bentuk restitusi.
"Perusahaan itu melakukan transaksi fiktif, uang-uang mereka juga. Ternyata kemudian berikutnya dia (Mobile-8) bikin hitung-hitungan seolah dia lebih membayar pajak. Sehingga dia menarik kembali dalam bentuk restitusi pajak," ujar Prasetyo di Kantor Dirjen Bea dan Cukai, Ramawangun, Jakarta Timur, Rabu (12/7/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jaksa Agung kembali menegaskan dirinya sudah mendapat hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait kerugian negara dari kasus Mobile-8. Dia mengatakan pihak kejaksaan memang tidak menangani masalah perpajakan yang dilakukan oleh Mobile-8. Namun, dari pajak itulah timbul kerugian negara.
"Kita sudah memegang update hasil audit dari BPK, sudah ada. Sekali lagi saya katakan, kejaksaan tidak menangani masalah perpajakannya tetapi adalah kasus korupsi. Dia menggunakan pajak sebagai sarana untuk melaksanakan perbuatannya, perusahaan loh ya. Saya tidak menyebut orang-perorang," tegasnya.
Lebih lanjut, Prasetyo menyebut saat ini pihaknya sedang membuat Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru pada kasus Mobile-8.
"Nanti akan dibuat Surat Perintah Penyidikan baru itu yang sedang kita lakukan," ujarnya.
Sebelumnya, Kejagung menerbitkan surat perintah penyidikan atas kasus ini pada awal 2017. Terkait dengan kasus tersebut, dugaan korupsi PT Mobile-8 muncul setelah penyidik Kejagung menemukan transaksi palsu antara perusahaan tersebut dan PT Djaya Nusantara pada periode 2007-2009.
Dalam kasus ini, Kasubdit Penyidikan pada Jampidsus Yulianto menyebut hasil audit BPK pada 2016 terhadap kerugian negara sebesar Rp 86 miliar.
Saat ini sprindik yang diterbitkan masih bersifat umum dan belum ada tersangkanya. Selain HT, nantinya dua orang yang pernah ditetapkan sebagai tersangka sebelumnya, Hary Djaja dan Anthony Chandra, akan diperiksa kembali. (bis/rvk)