"Pada zaman dahulu, perlakuan kekerasan dengan dalih mendisiplinkan anak dapat dianggap sebagian tak terpisahkan dari pendidikan," kata Fasli saat menjadi ahli dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (11/7/2017).
Namun, menurut mantan Wakil Mendiknas itu, sesuai dengan perkembangan zaman, pendekatan ini tidak diperkenankan lagi dan sudah menjadi kebutuhan dunia bahwa pendekatan kekerasan dengan dalih mendisiplinkan anak tidak dapat dibenarkan.
Kompetensi kepribadian membekali guru untuk tampil sebagai orang tua teladan yang penuh kasih terhadap peserta didiknya, seperti terhadap anaknya sendiriMantan Wakil Mendiknas Fasli Jalal |
"Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pendidik dan tenaga kependidikan, termasuk guru, antara lain memukul, melempar dengan penghapus, mencubit, menampar, menyundut rokok, memarahi dengan ancaman kekerasan, menghukum siswa berdiri dengan satu kaki di depan kelas, berlari mengelilingi lapangan, menjemur siswa di lapangan sambil hormat bendera merah-putih, pelecehan seksual, dan lain-lain sudah menjadi bagian yang harus ditinggalkan oleh peserta didik dan tenaga kependidikan yang profesional karena bentuk kekerasan apa pun terhadap siswa tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip dan etika yang terkandung dalam etika pendidikan, dan dalam karakter, dan moral Pancasila," ucap Fasli.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kompetensi profesional membekali guru untuk mampu memfasilitasi peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat yang unik dan utuh dengan kecerdasan gandanya atau multiple intelligence, menguasai pengetahuan teknologi dan/atau seni," ujar Fasli.
Sidang itu atas permohonan Dasrul dan Hanna. Mereka mengajukan uji materi ke MK, yakni Pasal 9 ayat 1a UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal yang mengkriminalkan guru itu berbunyi:
Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik dan/atau pihak lain.
Pemohon meminta UU Perlindungan Anak diberi tafsir yang jelas, tidak multitafsir, sehingga tidak menjadi pasal karet.
"Tampak jelas bahwa memang diperlukan perlindungan hukum terhadap anak dari berbagai bentuk, apakah itu kekerasan fisik, kekerasan mental, pelecehan/perundungan, hal-hal yang menyebabkan luka, trauma, pengabaian, atau perlakuan yang tidak bertanggung jawab, salah perlakuan atau eksploitasi, termasuk pelecehan seksual, ketika anak berada dalam tanggung jawab pengasuhan orang tua, wali yang sah, atau siapa pun yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mendidik anak," tutur Fasli.
"Dengan demikian, tidak ada peluang sedikit pun bagi guru sebagai pendidik profesional untuk menerapkan hukuman sebagai alat pendidikan yang bertentangan dengan makna filosofi dan etika pendidikan," ucap Fasli. (asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini