Kuasa hukum Hary, Munatsir Mustaman, memaparkan proses penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 109 KUHAP. Dalam pasal itu, menurut Munatsir, disebutkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) harus dikirim kepada terlapor dan pelapor dalam kurun waktu 7 hari. Namun kenyataannya, sambung Munatsir, SPDP baru dikirim 47 hari kemudian.
"Sebagaimana kita ketahui, penyidikan itu pada tanggal 4 Mei 2016, kemudian SPDP itu baru dilakukan pada pemohon sekitar tanggal 20 Juni 2017, jadi ada selang waktu 47 hari," kata Munatsir dalam sidang praperadilan yang diajukan Hary Tanoe di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Jaksel, Senin (10/7/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Lamanya pengiriman SPDP itu, disebut Munatsir, menyalahi ketentuan KUHAP. Karena itu, status tersangka kliennya diminta dicabut dan penyidikannya dihentikan.
"Kami jelas-jelas tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, maka kami minta ke majelis SPDP-nya, laporan polisinya, sampai penetapan oleh polisi dibatalkan," ujarnya.
Sidang praperadilan Hary Tanoe dipimpin hakim Cepi Iskandar. Sidang dilanjutkan besok, Selasa (11/7), dengan agenda pembuktian.
Hary Tanoe menjadi tersangka karena SMS yang dikirim ke jaksa Yulianto disangkakan mengandung unsur ancaman. Polisi menjerat Hary Tanoe dengan Pasal 29 UU Nomor 11/2008 tentang ITE juncto Pasal 45B UU Nomor 19/2016 tentang Perubahan UU ITE Nomor 11/2008. Ancaman pidana penjaranya 4 tahun.
Hary Tanoe menyebut SMS yang dikirimnya tersebut tidak bermaksud mengancam. Kalimat yang dibuatnya itu, menurutnya, merupakan kalimat umum.
"Untuk kasus SMS, saya jelaskan, saya tidak pernah punya maksud untuk mengancam. Itu dengan jelas dan tegas. Yang kedua, saya juga tidak punya kapasitas karena saya tidak mempunyai kekuasaan dan tidak dalam kapasitas bisa ancam-mengancam," kata Hary usai diperiksa di Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Jumat (7/7). (yld/fdn)