detikcom menemui Kiai Budi di kediaman sekaligus pondok pesantrennya di kawasan Tembalang, Semarang. Kiai dengan khas udeng hitam di kepalanya itu menyambut ramah dam menjelaskan perihal film karya Anto Galon yang memenangi Police Movie Festival 2017 tersebut.
Dengan terbuka, Kiai Budi menegaskan dirinya ikut bertanggung jawab karena memang terlibat dalam film tersebut. Kritik-kritik yang saat ini baru diketahui melalui media sosial itu ditampung dan ia juga membuka ruang diskusi untuk membahas film tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keterlibatan Kiai Budi dalam film itu tidak hanya sebatas sebagai pemeran tokoh Kiai. Ia sejak awal sudah berdiskusi dengan Anto Galon, termasuk memberikan judul. Salah satu lokasi pengambilan gambar pun dilakukan di pondok pesantrennya. Kiai Budi juga menyadari suatu karya tidak tertutup kemungkinan akan menimbulkan kritik yang membangun.
"Berkaitan film ini, saya pelajari dari sisi materi dan akibat-akibatnya, di mana film ini saya pandang materinya sebagaimana saya usung di dalam segala event yang saya alami. Di mana saya selalu menyatakan kemenangan Islam itu cirinya kemenangan bagi kehidupan sesama manusia, bahkan sesama makhluk Tuhan," tutur pria 54 tahun itu.
Bak lukisan indah dalam bingkai, lanjut Kiai Budi, film tersebut seperti lukisan yang merupakan berbagai paduan warna sehingga menciptakan sesuatu yang indah. Jadi, jika ada 'titik hitam', hal itu merupakan salah satu tanda dari warna dalam lukisan.
"Artinya, untuk menghilangkan kontroversi, cermatilah secara luas dan mendalam dari keseluruhan drama yang ada di film 'Kau Adalah Aku yang Lain'," katanya.
Kiai Budi cukup senang diberi ruang berperan sebagai tokoh yang mengatasi konflik dalam cerita tersebut. Dialog yang diucapkannya pun tanpa naskah karena menyerukan kerukunan seperti yang sudah biasa dilakukan.
"Saya sendiri senang diikutsertakan dalam peran yang mulia ini untuk bisa mengatasi konflik kecil di dalam masyarakat yang mungkin saja terjadi di mana pun dan bahkan saya menyediakan ruang bagi pesantren saya untuk menjadi tempat syuting film ini," ujar Kiai Budi.
Untuk diketahui, film berdurasi 7 menit 40 detik itu menuai kontroversi di media sosial karena ada yang menganggap mengandung unsur SARA dan menyinggung pihak tertentu. Bahkan ada pihak yang hendak melaporkan sutradara dan para aktor intelektual film itu ke polisi.
Penekanan dalam cerita film itu adalah ketika akses ambulans yang membawa pasien beragama Kristen terhalang menuju rumah sakit karena jembatan putus. Ambulans itu kemudian mencari jalan lain dan ternyata kali ini jalan sedang ditutup karena ada pengajian warga.
Perdebatan terjadi ketika seorang kakek bersikeras tidak akan membuka jalan. Seorang polisi kemudian datang berdialog, dibantu seorang warga, dan meyakinkan bahwa umat Islam harus membantu, termasuk memberikan jalan bagi ambulans yang membawa pasien kritis di dalamnya, meski berbeda keyakinan. Kakek itu kemudian teringat pengajian Kiai Budi dan bersedia memberikan jalan dan membantu peserta pengajian menepi agar ambulans bisa lewat.
Di akhir adegan dengan latar waktu yang berbeda, pasien yang ada di dalam ambulans sebelumnya terlihat sedang antre di puskesmas dan hendak membalas budi memberikan nomor antreannya kepada polisi yang membawa anaknya sakit di puskesmas yang sama. (alg/fjp)