"Besarannya bervariasi. Saya mendapat laporan ada yang sekitar Rp 48 juta dengan masa potongan gaji 5 bulan. Paling rendah Rp 22 juta dengan masa potongan 10 bulan sebesar NT 7500 (Rp 3,3 juta)," ujar Pranoto dari Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) Taiwan, dalam dialog dengan Kepala Badan Penempatan dan Perlindungan TKI Nusron Wahid di Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei, Taiwan, Selasa (27/6/2017).
Padahal, kata Pranoto, aturan dari Kementerian Tenaga Kerja untuk sektor informal bagi TKI baru dikenai biaya penempatan sekitar Rp 17 juta. Sementara itu, sektor formal ada biaya sekitar Rp 10 juta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persoalannya, kata Pranoto, para calon TKI tak memiliki bukti kuat atas praktik biaya berlebih itu. Pasalnya, perusahaan yang melakukan praktik tersebut menolak memberikan kuitansi pembayaran. "Kami susah menuntut. Kalau ditagih, mereka (perusahaan) alasannya simpel saja. Tidak diproses. Kita kan butuh (pekerjaan) mau tidak mau terpaksa bayar," ujar Pranoto.
![]() |
Nusron mengungkapkan pernah mengumpulkan sejumlah perusahaan untuk membahas moratorium pengiriman TKI untuk menekan praktik overcharging. Namun usulannya tersebut ditolak dengan alasan posisi TKI Indonesia di Taiwan akan direbut pekerja asal Myanmar, Vietnam, atau Filipina. "Kalau saya, boikot saja dulu. Dulu moratorium pengiriman anak buah kapal berhasil mendesak menaikkan upah sampai NT 5.000," ujarnya.
Menurut Nusron, moratorium akan memperlihatkan pihak-pihak yang paling mengambil untung praktik overcharging tersebut. "Apakah praktik itu kehendak pasar, agensi, atau perusahaan. Cara buktikannya ya hentikan dulu. Pokoknya standing point kami membela TKI mau benar atau salah. Karena TKI itu pihak yang terlemah," ujarnya. (pal/ams)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini