LBH Jakarta Temukan 37 Kasus Penyiksaan oleh Kepolisian

LBH Jakarta Temukan 37 Kasus Penyiksaan oleh Kepolisian

Parastiti Kharisma Putri - detikNews
Rabu, 21 Jun 2017 17:07 WIB
LBH Jakarta paparkan temuan soal penyiksaan oleh kepolisian (Foto: Parastiti Kharisma Putri/detikcom)
Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengungkapkan temuan hasil penelitian tentang penyiksaan yang dilakukan oknum kepolisian. LBH meminta peraturan mengenai penyiksaan diatur dalam KUHP.

Hal ini disampaikan pada acara yang bertajuk 'Kepolisian dalam Bayang-bayang Penyiksaan' yang merupakan catatan kasus penyiksaan di sepanjang tahun 2013-2016. Dari penelitian itu, Kepala Divisi Advokasi LBH Jakarta Yunita menemukan 83 persen kasus kekerasan dalam penindakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian.

"Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani dan rohani. Untuk memperoleh pengakuan, dia menyiksa atau menganiaya bukan hanya menyiksa tapi untuk mendapatkan pengakuan. Idealnya kasus penyiksaan ini diatur dalam KUHP dan KUHAP," ujar Yunita di kantornya Jalan Dipenogoro, Menteng, Jakpus, Selasa (21/6/2017).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengacara publik LBH Jakarta, Ayu Eza Tiara mencatat ada 37 kasus penyiksaan yang dilaporkan ke LBH sejak 2013-2016. Dari data itu, LBH mencatat 26 persen aktor dari penyiksaan terjadi di tingkat Polsek, 44 persen di tingkat Polres, dan 13 persen di tingkat Polda. Bentuk kekerasan mulai dari fisik, verbal, hingga kekerasan seksual.

"6 Persen dialami oleh anak berusia 16 tahun yang berkonflik dengan hukum. Korbannya masyarakat menengah ke bawah atau masyarakat yang tidak tahu proses hukum dan hak-hak hukum, 36 kasus hanya 1 orang yang bertemu dengan pengacara. Kekerasan terjadi pada tindak pidana seperti pencurian, pengaiayaan, pemerkosaan, pemalsuan surat, narkotika, dan lain-lain," kata Ayu menguraikan.

Acara ini turut dihadiri oleh keluarga dari tersangka pencurian motor yang mengaku disiksa penyidik Polda Metro Jaya, Herianto (21). Meskipun saat ini, PN Jaksel mencabut status tersangka curanmor Herianto bersama dua lainnya Aris (33) dan Bihin (39), namun mereka tetap diajukan persidangan.

"Hakim praperadilan juga sudah bilang bahwa bukti yang dihasilkan dari penyiksaan itu tidak sah. Masalahnya praperadilan itu tidak memeriksa apakah ada penyiksaan atau tidak, itu bukan masalah kecil, itu yang jadi masalah bahwa pemerintah pada dasarnya tidak serius dalam menangani penyiksaan, aturan nya tidak ada sampai sekarang," ujar kuasa hukum Herianto dari LBH Jakarta, Bunga Siagian.

Istri dari Herianto, Zulia mengaku ada kejanggalan dalam penangkapan suaminya. Bahkan, suaminya disiksa sampai babak belur.

"Saya datang kondisi nya sudah babak belur, kemaluannya dibalsem, temannya disetrum dan dipukulin. Sampai saat itu belum ada surat-surat apa pun. Tanggal 14 April kami membesuk, pada saat itu disuruh tanda tangan, kami nggak baca cuma disuruh tanda tangan dari pihak keluarga," ungkap Zulia.

"Suami saya kepalanya pada luka, kakinya dipukul palu, badannya luka bibirnya pecah, bajunya penuh darah, kepalanya dipukul gagang pistol di kening, sudah babak belur semuanya. Saat itu nggak tahu gimana karena posisi mata ditutup mulut, ditutup tangan diborgol," tutupnya.

Namun PN Jaksel hanya mencabut status tersangka. Adapun apakah ada penyiksaan atau tidak, hakim Martin Ponto Bidara menyatakan bukan ranah praperadilan untuk menilainya. (dkp/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads