"Itu logika sesat. Bagaimana mungkin bisa menentukan presidential threshold (PT) 20 persen, sementara belum ada hasil pemilu legislatif. Sungguh sulit dimengerti kalau ada partai-partai yang memaksakan presidential threshold tersebut dalam Pilpres 2019," kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin dalam keterangan tertulis, Selasa (20/6/2017).
Menurut Didi, jika tetap dipaksakan presidential threshold 20 persen, akan banyak kecurigaan bahwa ini hanya akal-akalan untuk menjegal calon presiden dari partai kecil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Atau jangan-jangan incumbent presiden takut bertarung manakala muncul calon-calon penantang baru dari berbagai partai kelak. Padahal para pendukungnya selalu klaim presiden sukses dalam membangun negeri, tentu ironis jika lalu terkesan takut dengan hadirnya capres-capres baru yang kelak jadi pesaingnya," tutur dia.
Menurut Didi, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 menyatakan, pada Pemilu 2019, pilpres dan pileg dilaksanakan serentak. Jadi secara otomatis ambang batas pencalonan presiden hilang atau 0%.
Didi menegaskan, jika presidential threshold tetap dipaksakan 20 persen, tentu hal tersebut melanggar putusan MK. Padahal, sebagai warga negara yang taat hukum, sudah semestinya putusan MK tersebut dipatuhi.
Apabila angka presidential threshold menggunakan hasil Pemilu 2014, kata Didi, itu sudah tidak relevan. Perolehan suara partai dalam Pemilu 2014 tak bisa digunakan untuk kedua kalinya dalam Pemilu 2019 karena sudah pasti peta kekuatan politik sudah berubah.
"Oleh karenanya, proses demokrasi tidak boleh mundur selangkah pun. Sekali lagi, ingat 2019 jelas-jelas pemilu serentak, bukan saja logika yang bisa rusak, hukum pun telah dilanggar dengan tetap paksakan PT 20 persen! Maka adanya presidential threshold jelas-jelas melanggar dan bertentangan dengan keputusan MK soal pilkada serentak," tutur Didi. (erd/imk)