"Ya kalau namanya undang-undang, ya harus kita laksanakan, yang pasti tentunya, kita harapkan kita masih mengakui (UU Tipikor) karana ada lex spesialis dan lex generalis itu," kata Prasetyo kepada wartawan di kantornya, Jalan Sultan Hasanuddin, Jaksel, Jumat (16/6/2017).
Namun Prasetyo tidak mau berseberangan dengan DPR layaknya KPK. Prinsipnya, UU apa pun, haruslah menguatkan fungsi pemberantasan korupsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, KPK menyatakan tegas menolak aturan tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP.
Rapat panitia kerja (Panja) RUU KUHP dan pemerintah menyepakati tindak pidana korupsi dimasukkan dalam KUHP. Namun KPK tetap dengan suara awal, tidak setuju. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif memaparkan salah satu alasan adalah KUHP cenderung kurang dinamis. Berbanding terbalik dengan penanganan perkara korupsi.
"KPK beranggapan sebaiknya UU Tipikor, UU Terorisme, UU Narkotika itu berada di luar KUHP karena untuk beberapa hal," ungkap Laode.
Sementara itu, Menkum HAM Yasonna Laoly meyakinkan kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi tak akan dilemahkan. Ia bersikukuh harus ada aturan secara umum yang mengatur tindak pidana korupsi.
"Ini kan cara melihat yang nggak paham konsep gitu Lex specialis derogat legi generali. Ini dibuat para pakar ahli pidana Indonesia, the best mind pemikir hukum pidana. Masa 30 tahun dikaji kita nggak appreciate? Kecuali dengan UU ini kewenangan bersifat khusus KPK, BNN, BNPT hilang, ini baru ribut sedunia," ujar Yasonna. (asp/rvk)











































