Untuk mengatasi merebaknya belalang kembara dalam jumlah masif, penggunaan pestisida tidak disarankan. Solusi yang ramah lingkungan disarankan segera dilakukan, yakni hujan buatan.
"Buatlah hujan buatan sebagai environmental shock," kata pakar ilmu lingkungan Universitas Sebelas Maret (UNS), Prabang Setyono, kepada detikcom, Jumat (16/6/2017).
Hujan buatan itu adalah perwujudan 'kejutan lingkungan' terhadap populasi Locusta migratoria, nama ilmiah belalang kembara. Soalnya, ledakan populasi belalang itu juga ditengarai berakar dari perubahan kondisi lingkungan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jam biologi belalang adalah masalahnya. Ledakan populasi belalang ini karena ada kekacauan jam biologi dan daur hidup yang rusak. Waktu yang seharusnya bukan masa kawin, malah menjadi masa kawin. Maka jumlah belalang menjadi tak terkendali. Solusi berupa penggunaan pestisida sangat tidak disarankan.
"Kalau pestisida itu menyelesaikan masalah dengan masalah. Pestisida pasti meninggalkan sisa di daun dan tanah. Dalam kondisi yang begitu masif, pestisida akan mematikan situs mikroba di tanah. Saya tidak merekomendasikan pestisida," tutur Prabang.
Pengamat pertanian dan hama Institut Pertanian Bogor Hermanu Triwidodo menjelaskan belalang punya tingkat metamorfosis, yakni telur berumur dua pekan menetas menjadi nimfa (serangga dewasa tak bersayap), kemudian berganti kulit lima kali dan akhirnya menjadi belalang dewasa.
Jika terjadi kemarau panjang, akan terjadi penumpukan jumlah telur dan akan menetas bersama-sama ketika hujan telah turun dan kelembapan tanah cukup. Di Waingapu sendiri kebetulan terjadi kemarau panjang sehingga populasi belalang kembara pun meledak.
Dalam buku 'Hama dan Penyakit Tanaman' karya Ir Pracaya, salah satu faktor penyebab kematian belalang adalah hujan. Jika banyak hujan dan banyak awan, perkembangan nimfa belalang terhambat. Hujan lebat juga akan banyak membunuh nimfa.
(dnu/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini